Pages

Kamis, 08 Maret 2007

Laporan Tugas Pengantar Manajemen : LEARNING ORGANIZATION


Dunia bisnis selalu berubah secara cepat dan tidak terduga. Untuk bisa tetap selamat dalam kondisi yang demikian, setiap organisasi bisnis harus mampu cepat membaca dan mengenali kondisi–kondisi baru dan segera beradaptasi terhadap perubahan itu. Kunci utama agar dapat selalu beradaptasi dengan cepat dan tepat adalah menerapkan organisasi pembelajar atau "learning organization". Learning organization adalah organisasi yang terlatih dalam menciptakan, meraih, dan mengubah pengetahuan/informasi dan memperbaiki sikapnya untuk mencerminkan pengetahuan dan pandangan baru. Setelah mengikuti perjalanan ide lokakarya ini, terasa jelas bahwa syarat fundamental dalam membangun ’learning organization’ adalah kemauan berbagi. Selain itu, juga diperlukan sosok pemimpin yang baik.
Hal–hal itulah yang dibahas dan digali dalam International Workshop: Creating A Learning Organization in Your Company. Lokakarya yang diselenggarakan 17 Mei 2005 lalu ini menjadi salah satu lokakarya dari serangkaian seminar dan lokakarya (workshop) yang digelar oleh Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.
Antara lain, yang hadir sebagai pembicara dalam lokakarya, Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja, Karl Knapp, Ph.D., dan Prof. Richard W. Moore. Ketiganya juga merupakan staf pengajar di SBM. Yang juga menarik dalam lokakarya ini adalah kehadiran dua praktisi dari dunia bisnis konsultasi profesional, yaitu Bernardus Djonoputro dari PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Heru Prasetyo dari Accenture Indonesia. Keduanya membagikan banyak sekali pengalaman mereka dalam membina ’learning organizations’.
Sebagai dasar pemahaman mengenai ’learning organizations’, Prof. Jann Hidajat memberikan presentasi awal yang mengulas mengenai konsep ’learning organizations’. Pada sesi awal ini, Prof. Jann memberikan pandangan mengenai tiga gelombang "pembelajaran" (learning). Pada gelombang pertama, organisasi dan perusahaan berkonsentrasi pada peningkatan proses kerja (improve work process). Dalam fase ini, munculah konsep "kaizen", TQM, dan konsep–konsep lain yang berbasiskan pada mengatasi hambatan dan batasan. Selanjutnya, fase kedua memfokuskan pada peningkatan mengenai bagaimana cara bekerja (improve how to work). Fase ini banyak berkutat pada improvisasi cara berpikir dan pembelajaran mengenai masalah–masalah sistem yang dinamis, kompleks, dan mengandung konflik. Pada gelombang ketiga, konsep pembelajaran benar–benar tertanam dalam organisasi sebagai cara pandang dan berpikir para pimpinan dan juga pekerja.
Sesi selanjutnya lebih mengarah pada aplikasi konsep learning organization dalam kehidupan nyata. Dua praktisi dunia bisnis konsultansi hadir membagikan pengalamannya mengenai learning organization. Yang pertama adalah Bernardus Djonoputro dari PricewaterHouseCoopers (PwC). Bernardus menceritakan pengalamannya dalam membangun knowledge management sebagai implementasi dari learning organization. Sebuah bisnis konsultansi sangat membutuhkan knowledge management yang kuat. Ini tercermin dengan kebijakan PwC menempatkan Knowledge Management Departement dalam Business Development. Sharing informasi adalah kunci sukses; termasuk di dalamnya adalah berbagi pengalaman kesuksesan dan kegagalan tender. Knowledge Management yang baik juga menjadi kunci ’standardisasi’ metodologi dalam sebuah bisnis konsultansi. Bernardus menjelaskan berbagai sistem yang digunakan untuk membentuk knowledge management.
Heru Prasetyo membagikan pengalamannya mengimplementasikan learning organization di Accenture. Dalam pemaparannya, Heru banyak menekankan berbagai keuntungan yang dicapai bila organisasi ’belajar’. Organisasi yang mampu belajar akan dapat menjadi lebih efisien, efektif, serta fleksibel. Yang menarik, adalah kesimpulan Heru, bahwa pembelajaran adalah kehidupan itu sendiri (learning is life). Karena itu, pembelajaran itu adalah hal yang alami. Bila pembelajaran ’diracuni’ oleh motif tertentu (pandangan sempit, lingkungan kerja yang buruk, dsb) maka pembelajaran tidak lagi alami dan malah mengarah pada kehancuran organisasi. Penutup presentasinya menggugah hati. "Is life worth living? If it yes, then life is worth exploring," ujarnya.
Pada sesi tanya–jawab, muncul pertanyaan yang menarik dari Prof Moore: apa yang menjadi halangan terbesar membangun learning organization di Indonesia. Jawaban kedua praktisi ini sama–sama mengena. Bernardus mengungkapkan bahwa orang Indonesia itu "senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang". Ketakutan akan "tidak kebagian" itu menghantui orang Indonesia. Sementara itu, menurut Heru, selain masalah bahasa, budaya kebebasan/demokrasi berpikir belum ada di Indonesia. Heru, lalu, menyalahkan Orde Baru. Salah satu ekses yang muncul dari tidak adanya demokrasi berpikir adalah euphimisme yang berlebihan; menyebutkan dipenjara dengan diamankan, dsb. Ekses lain adalah budaya berbicara basa–basi dan tidak terbuka dalam pembelajaran.
Dari keseluruhan perjalanan workshop ini, dapat disarikan satu kata kunci dalam mewujudkan learning organization, yaitu berbagi. Kemauan berbagi adalah sifat dasar organisasi yang belajar; berbagi pengalaman sukses dan gagal. Pola pikir ’saya sudah sukses dengan begini dan saya mau kamu juga sukses seperti saya dengan begini’ serta ’saya gagal karena ini dan saya tidak mau kamu gagal karena ini’ harus menjiwai tiap individu dalam organisasi. Berbagai batasan, terutama dari segi budaya, memang mewarnai implementasi learning organization di Indonesia. Namun, bagaimanapun juga konsep ini perlu diusahakan dan diterapkan dalam organisasi–organisasi Indonesia demi selamat menghadapi berbagai masalah baru dan perubahan zaman. Untuk itu, baiklah dimulai dengan satu pertanyaan sederhana namun cukup mengusik: maukah berbagi?


LEARNING ORGANISATION dalam ERA PERUBAHAN
 Oleh : Binari Sinurat, SE., MS.
Wases DPN Korpri Sub Unit Ditjen PPHP
Email: Bina_rii@Yahoo.com


Zaman sudah berubah, dimana..mana terjadi perubahan, tidak ada lagi yang abadi, yang abadi justru perubahan itu sendiri. Tentang perubahan, ada orang yang sadar tentang perubahan itu sendiri, dan ada orang tidak sadar tentang perubahan, yang jelas dalam suatu periode waktu tertentu akan ada yang berbeda diantara dua kutub waktu, dan yang berbeda itulah disebut perubahan. Organisasi, adalah wadah kumpulan orang-orang dan berbagai aturan didalamnya tidak luput dari dampak yang ditimbulkan perubahan, hanya saja ada orang yang merespon perubahan itu dan ada yang tidak merespon. Tetapi sebagian besar orang di dalam organisasi dapat merasakan dampak yang ditimbulkan perubahan itu sendiri. Bentuk organisasi mekanisitik sebenamya tidak dapat dipertahankan lagi, digunakan sebagai alat menjalankan fungsinya dalam era perubahan yang berlangsung sangat cepat. Sehingga dibutuhkan satu bentuk lain dari organisasi, bentuk itu oleh Peter Senge disebut dengan Learning Organization atau "organisasi pembelajaran". Tulisan ini sengaja dimunculkan untuk memberikan wacana bagi organisasi pemerintahan yang sebagian besar bersifat mekanistik yang mana bentuk organisasi ini sudah kurang efektif untuk dapat digunakan menjawab tantangan zaman yang semakin hari semakin tajam. Sadar atau tidak sadar kami menghimbau para pengambil kebijakan agar cepat memikirkan perubahan ini, untuk memperoleh organisasi berkinerja tinggi, khususnya organisasi proyek-proyek yang sedang dan akan dijalankan.

PERUBAHAN
Pada tahun 1990-1993, penulis menjadi tutor bagi 100 orang anggota DPR dari fraksi ABRI untuk bidang ekonomi dan manajemen. Pada saat ini kami selalu mengingatkan bahwa akan terjadi perubahan besar dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Dimana pada saat itu tenaga kerja jarang bahkan tidak pernah melakukan aksi atau demonstrasi, karena penguasa pada saat itu telah berhasil menciptakan budaya diam didalam perusahaan.
 Namun saat ini semua telah berubah, setiap hari kita menonton di televisi rangkaian protes dan demonstrasi ribuan pekerja menentang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah terhadap berbagai perubahan terhadap perundang-undangan tentang perburuhan di Indonesia. Dalam waktu yang bersamaan, mesin perubahan dalam lingkungan eksternal terus berproses dan tidak bisa ditahan sesaatpun. Keterbukaan pada berbagai aspek kehidupan juga ikut memicu semakin cepatnya proses perubahan itu terjadi.
Situasi yang terjadi pada berbagai organisasi perusahaan seperti diuraikan diatas, juga mungkin terjadi pada organisasi pegawai negeri apabila tidak dikelola dengan baik. Korpri satu-satunya wadah perkumpulan pegawai negeri harus secara proaktif mengantisipasi berbagai perubahan dalam lingkungan eksternal yang berdampak terhadap lingkungan internal pegawai negeri sipil. Dari sisi perilaku kita bisa menemukan adanya perbedaan perilaku dalam diri pegawai saat ini dibandingkan perilaku dalam diri pegawai awal tahun delapan puluhan.
Dalam ilmu manajemen telah banyak management tools yang muncul sebagai respon terhadap berbagai perubahan tersebut, bahkan sebagai alat untuk mengelola perubahan, atau dengan kata lain telah banyak management tools yang sudah diujicobakan untuk menemukan management patterns yang tepat digunakan dalam menjalankan suatu organisasi.
Penggunaan TQM, Gugus Kendali Mutu, Good Governance, Good Corporate Governance, Business Process Re-Engineering, Balldrige Scorecard dan management tools lainnya, dimaksudkan sebagai respon suatu organisasi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Bahkan pada suatu perusahaan kelas dunia seperti General Electric (GE) telah menghasilkan management tools untuk menemukan management tools terbaik bagi perusahaannya, seperti CAP (Change Acceleration Process), Six Sigma, Business Transformation Tools, dll. Namun demikian, tidak banyak organisasi yang berhasil menerapkan berbagai management tools tersebut. Terbukti dibeberapa negara penggunaan berbagai management tools tersebut justru membawa dampak yang buruk terhadap kinerja organisasi.
Beberapa literature manajemen dan leadership knowledge melaporkan banyak contoh kegagalan strategi manajemen yang melibatkan perubahan dan pengembangan organisasi secara besar-besaran. Mayoritas upaya ‘downsizing’ dan ‘delaying’ tak berjalan seperti yang diharapkan. Survey di Amerika Serikat, ditemukan bahwa 63 persen program TQM (Total Quality Management) gagal menghasilkan perbaikan kualitas dan hanya 10 persen yang berhasil. Tak jauh dari itu, kegagalan inisiatif BPR (Business Process Re- engineering) di Amerika Serikat berkisar antara 50-70 persen. Kejadian serupa juga terjadi di Eropa. Walau dua pertiga perusahaan yang terdaftar di top 500 Inggris menerapkan TQM, hanya 8 persen yang bisa disebut berhasil. Kebanyakan inisiatif BPR hanyalah sekedar simplifikasi proses ketimbang rekayasa-ulang dan hanya 10 persen mencapai terobosan penting. Dalam hal perubahan budaya, dilaporkan sekitar 80 persen gagal. Tingkat kegagalan yang tinggi juga terjadi pada perubahan menyangkut IT. Sekitar 80-90 persen investasi di bidang IT gagal, berdampak pada kinerja.

Berdasarkan kedua cerita diatas, hal itu akan menambah daftar panjang inisiatif perubahan yang gagal yang dialami suatu organisasi, dengan segala konsekuensinya masing-masing. Sementara itu, kita akui organisasi mesti berubah agar mampu mendongkrak daya saing menghadapi persaingan global. Pendekatan lama kini banyak menuai kritik karena terlalu menekankan pada perubahan inkremental dan terisolasi, selain memang tak pernah dimaksudkan untuk dapat ditempatkan pada semua situasi perubahan, apalagi dimana dibutuhkan perubahan cepat, koersif, atau besar-besaran. Jadi kita perlu pendekatan-pendekatan baru.

LEARNING ORGANISATION (LO)

Metode lama dan gaya manajemen lama yang digunakan selama ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi untuk menjalankan organisasi dan menghasilkan organisasi berkinerja tinggi. Seperti, memberikan gaji yang tinggi, memberikan jabatan bagi staff yang memprotes pimpinannya, mengirim staf mengikuti training atau workshop, bukan merupakan solusi strategis untuk menciptakan organisasi berkinerja tinggi dalam era perubahan.

Mengapa Pembelajaran Penting?
Saat ini, segala sesuatu berubah begitu cepat sehingga sulit diikuti. Orang dan atau organisasi yang tidak bisa mengikuti perubahan akan ketinggalan atau terpinggirkan (mungkin pengangguran). Organisasi yang tak mampu berubah mengikuti irama pasar global bisa jadi tidak memiliki masa depan. Dengan demikian hanya satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi perubahan, yaitu belajar dari perubahan itu sendiri, dan cara yang paling mudah dan tepat adalah melakukan fungsi BELAJAR.
 Organisasi dan individu yang mampu belajar dengan cepat dan sungguh-sungguh akan menjadi organisasi dan individu yang paling berhasil di masa datang. Pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat ini tidak lagi bisa diharapkan membawa keberhasilan pada tahun-tahun mendatang. Dugaan ini akan berakibat dengan banyaknya pengangguran dan berbagai kekecewaan. Apalagi dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan yang begitu cepat.
Organisasi yang mampu belajar menjadikan organisasi sebagai system yang hidup. Setiap bagian dihubungkan pada setiap bagian lainnya. Sebagai sistem yang hidup, terdapat tuntutan kuat untuk menjaga keseimbangan. Apabila anda coba mengubah satu bagian, bagian lain dari sistem tersebut akan melakukan upaya bersama untuk mengubah status quo. Sekali perubahan terjadi akan mempengaruhi sistem lainnya. Berpikir sistematik memungkinkan organisasi berfokus pada perubahan sistem.
Menurut Peter Senge dalam bukunya The Fifth Discipline mengatakan bahwa belajar sama sekali tidak lagi sama dengan memperoleh pengetahuan, akan tetapi perilaku anda akan berubah apabila anda belajar. Dengan belajar serius kita dapat mengetahui secara baik apa yang kita kenal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui belajar kita membangun kembali diri sendiri. Melalui belajar kita menjadi mampu melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui belajar kita merasakan kembali dunia dan adanya hubungan diri sendiri dengan dunia. Melalui belajar kita memperluas kemampuan kita untuk mencipta, dan menjadi bagian dari proses pembangkitan kehidupan. Dalam diri setiap manusia terdapat rasa keinginan kuat untuk belajar. Dengan pendapat ini, maka beliau menyarankan agar hidup itu menerapkan triple L (Live Long Learning) atau MARSIKKOLA SAPPE MATUA atau BELAJAR SEPANJANG HIDUP.
 Selain itu, organisasi yang berhasil membangun budaya belajar di lingkungannya, dapat membandingkan investasi yang dilakukan antara metode pembelajaran (learning method) dibandingkan dengan metode management (managements method) tools lainnya dalam perspektif manfaat yang akan diperoleh dengan risiko yang mungkin akan timbul. Investasi yang dibutuhkan dengan menggunakan learning method cukup hanya kemauan, waktu, dan uang sedikit (relatif kecil apabila menggunakan management tools).

Organisasi Yang Mampu Belajar
Organisasi yang mampu belajar adalah organisasi yang mengutamakan pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu proses sekaligus suatu nilai. Idealnya, setiap karyawan harus memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri melalui belajar. Dengan mempelajari hakikat pembelajaran, organisasi secara keseluruhan dituntut untuk selalu memperbaiki semua aspek dirinya baik produk maupun jasa. Ketika karyawan dan organisasi berkembang, karyawan akan merasakan suatu hubungan yang diperbaharui terhadap pekerjaan mereka, pelanggan akan terlayani dengan lebih baik dan organisasipun akan memiliki masa depan yang lebih baik pula.


LO PADA ERA PERUBAHAN
Berdasarkan uraian diatas, kita dapat melihat peluang yang besar yang diciptakan oleh sinergi dua unsur penting yaitu unsur Learning Organisation (LO) dengan unsur Perubahan. Daripada harus melakukan restrukturisasi organisasi (yang belum tentu dilakukan sesuai proses yang benar) dimana resiko yang ditimbulkan juga cukup tinggi (miss organization, miss management tools, dll.), sedangkan di sisi lain ada metode murah dan efektif yang dapat dilakukan, hanya dengan membangun sistem pembelajaran, dan luangkan waktu secara teratur dilakukan pembelajaran bersama didalam organisasi, maka sebesar apapun perubahan, secepat apapun perubahan itu terjadi, semuanya itu dapat dibedah didalam proses pembelajaran secara bersama (mulai dari top level management sampai manajemen tingkat paling bawah). Berbagai metode pembelajaran dapat diujicobakan untuk menemukan metode yang tepat.



'A learning organization is an organization that facilitates the learning of all its members and continuously transforms itself to achieve superior competitive performance.'
Untuk kriteria ke-6, “Creating a learning organization” (Menciptakan suatu organisasi pembelajar), Unilever sejak 2001 menyelenggarakan program Learning Award. Tujuannya adalah mendorong terciptanya budaya belajar, khususnya dimulai dengan menstimulasi karyawan untuk mau berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan mereka.
Learning Award adalah program pemberian poin untuk setiap karyawan yang menyempatkan waktu berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada rekan-rekan kerja mereka (termasuk K-Club, Book Club). Poin yang dikumpulkan mempunyai nilai tertentu yang dapat ditukarkan dengan penghargaan dari perusahaan (tidak berbentuk uang), entah dalam bentuk voucher ataupun lainnya. Pengumpul nilai terbanyak dalam setahun akan memperoleh award berupa hadiah kunjungan ke luar negeri. Hadiah kunjungan ke luar negeri juga diberikan kepada pengumpul poin tertinggi kedua dan ketiga.
Learning Award diselenggarakan Unilever bukan untuk memberi hadiah semata-mata, melainkan untuk menghidupkan budaya berbagi pengetahuan dan memanfaatkan apa yang dipelajari untuk pekerjaan. Terbukti kemudian semangat belajar dan berbagi telah berjalan di Unilever, baik di kantor pusat maupun di pabrik-pabrik. Jika pada 2001 karyawan yang mau berbagi masih berjumlah 30 orang, maka tahun ini telah meningkat menjadi 260 orang.
Aktivitas untuk belajar dan berbagi telah dimulai Unilever dengan kegiatan Sharing of Learning and Results (SOLAR) mereka. Kegiatan ini dimulai sejak 1998. Diselenggarakan setiap Jumat sore, acara ini mengundang orang dalam perusahaan atau eksternal untuk berbagi baik dalam topik umum seperti tentang kehidupan, nilai-nilai kehidupan, atau yang langsung berkaitan dengan pekerjaan, ataupun berbagi tentang best practices.
Dari semua kegiatan karyawan dalam belajar dan berbagi itu, Unilever menikmati hasil, di antaranya, berupa penghematan dalam anggaran biaya pelatihan yang cukup signifikan. Mereka telah sukses menghidupkan budaya dan proses berbagi pengetahuan dan menggunakan pengetahuan itu untuk pekerjaan mereka dalam suasana yang menyenangkan (bukan semata-mata melalui pelatihan di kelas) dan dengan hasil yang memuaskan bagi perusahaan.
Unilever sukses dengan budaya knowledge sharing-nya. Apa yang dilakukannya tidaklah mengandalkan teknologi informasi semata. Ada contoh di pabrik mereka tentang bagaimana seorang supervisor mentransfer pengalaman menangani sebuah mesin menjadi sebuah tulisan yang disimpan dalam perpustakaan dan dapat diakses oleh siapa saja di pabrik. Tulisan itu melengkapi buku manual mesin yang sudah disiapkan pabriknya di luar negeri.
Apa yang dilakukan Unilever itu amat sejalan dengan perkataan Robert H. Buckman dalam bukunya, Building a Knowledge-Driven Organization. Ia berkata,  “Organisasi meningkatkan pengetahuan melalui jaringan orang-orang yang berkolaborasi—bukan melalui jaringan teknologi yang saling tersambung (interconnected). Meski semua media memberitakan atau mengulas jaringan kelompok (groupware) dan “ketersambungan (interconnectivity) dasawarsa 90-an”, teknologi komputer bukanlah inti cerita. Kuburan teknologi informasi (TI) penuh dengan perusahaan yang mengikut para CIO (chief information officer) yang visioner dan beranggaran besar untuk masuk pada investasi di client-server ini atau client-server itu, atau menerapkan sistem e-mail baru, hanya untuk menyadari belakangan bahwa orang-orang masih tidak sudi berkolaborasi dalam berbagi pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan baru. Ketersambungan bermula dari orang-orang yang ingin berhubungan. Jika itu terjadi, barulah alat dan teknologi memfasilitasi hubungan.
Robert H. Buckman sukses memimpin Buckman Laboratories sehingga mendapat berbagai penghargaan, termasuk sebagai Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) tingkat dunia setiap tahun pada rentang waktu 1998—2004.
Selamat bagi Unilever Indonesia sebagai pemenang MAKE Asia 2005, semoga keberhasilan ini menularkan semangat membangun organisasi berbasis pengetahuan di Indonesia dan menumbuhkan minat lebih banyak organisasi di Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam MAKE Indonesia tahun 2006
Strategi organisasi usaha layanan yang dilakukan bukan hanya dengan menerapkan Total Quality Management (TQM), melainkan juga dengan menanamkan paradigma pembelajaran organisasi (learning organization), akan sangat mendukung keberhasilan service culture. Learning organization bukan hanya bersifat adaptif terhadap perubahan seperti paradigma Total Quality Management, melainkan juga bersifat proaktif untuk mengantisipasi perubahan di masa depan. Hal ini akan tercermin dalam manajemen sumber daya manusia. Misalnya dalam proses seleksi, harus dipilih karyawan yang memiliki kemauan kuat untuk belajar. Untuk melakukan seleksi ini, perlu diadakan analisis atribut personal (personal attributes analysis) dengan mengidentifikasi sikap dan kompetensi yang dibutuhkan serta memperjelas hal mana yang harus sudah ada pada diri orang tersebut atau hal mana yang dapat dikembangkan melalui pelatihan. Selain itu, pelatihan yang dilakukan bukan hanya pelatihan yang berorientasi masa kini melainkan juga pengembangan para karyawannya yang berorientasi ke masa depan, dan sebagainya.

Mengembangkan Kepemimpinan (Management Requirements)

Untuk layanan yang baik akan berusaha memiliki dan memelihara kepemimpinan layanan (service leadership). Untuk membangun hal tersebut, perlu dilaksanakan hal-hal berikut ini :
Encourage Leadership learning atau usaha menggiatkan organisasi untuk belajar, yang dilakukan dengan cara menanamkan budaya learning organization yang diimplementasikan dalam kegiatan manajemen sumber daya manusianya.
Mempromosikan orang tepat. Misalnya dalam aspek perencanaan karier, promotion form within menuntut persyaratan kualifikasi tingkat pendidikan minimal, prestasi kerja, dan lamanya bekerja.
Menekankan keterlibatan personal. Semua karyawan harus memiliki nilai, sikap, dan perilaku yang menghayati faktor critical the moment of truth atau berorientasi pada kepuasan pelanggan. Komunikasi dua arah harus berjalan lancar.
Menekankan kepercayaan pada seluruh karyawan. Contohnya adalah melakukan pengembangan karier untuk meningkatkan motivasi dengan melakukan job enrichment atau empowerment.
Mengembangkan Service Training Programs (Knowledge and Attitude Requirements)
Program pelatihan terhadap keahlian, pengetahuan, dan sikap karyawan dibutuhkan untuk mencapai kualitas pelayanan yang baik. Mengacu pada konsep tekstonomi Bloom, tujuan pelatihan harus memperhatikan tiga domain pada masing-masing orang sesuai dengan kebutuhannnya, yaitu affective, cognitive, dan  psychomotor.
Sebagai ilustrasi seorang agen asuransi yang bertugas sebagai pemasar produk asuransi pada usaha layanan asuransi harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan bidangnya, misalnya mengerti asuransi apa yang diinginkan atau dibutuhkan konsumen dan mampu memberikan informasi kepada konsumen yang membutuhkannya  (cognitive domain). Contoh gampang yang lainnya, seorang sopir taksi yang bertugas mengantarkan kosumen harus dapat mengemudikan dan memperlakukan mobil dengan baik. Ini berkaitan dengan psychomotoric domain. Sikap positif staff customer service misalnya dengan memperlihatkan empati, mendengarkan secara aktif, dan responsif pada konsumen pada konsumen yang dihadapi melibatkan effective domain.
Pelatihan-pelatihan untuk mencapai seluruh tujuan di atas dapat dilakukan dengan :
On the job Training, contohnya latihan instruksi pekerjaan yaitu memberikan petunjuk-petunjuk mengenai pekerjaan secara langsung saat bekerja untuk melatih karyawan bagaimana melaksanakan pekerjaan mereka sekarang.
Off the job training, contohnya adalah metode simulasi permainan peran (role playing). Ini dimaksudkan agar karyawan melatih sikap dan perilaku dalam menghadapi pelanggan dan melatih keahlian berkomunikasi yang baik. Selain itu presentasi video pun dapat dilakukan untuk melengkapi bentuk pelatihan role playing. Karyawan sebaiknya diperlengkapi dengan rekaman video dan buku pegangan yang berisi cara-cara efektif dalam melayani pelanggan sehingga karyawan dapat mempelajarinya sendiri bila membutuhkannya.
Dalam pemasaran internal, motivasi kerja yang tinggi sangat dibutuhkan. Untuk merealisasikannya dapat dilakukan melalui berbagai cara yang menyentuh setiap aspek manajemen sumber daya manusia. Sebagai contoh, kita ambil acuan salah satu teori motivasi kontemporer yang diajukan oleh David Mc Clelland yang dikenal dengan sebutan Three Needs Theory  atau teori tiga kebutuhan yang terdiri dari need for affiliation, need for power, need for achievement.
Program orientasi dilaksanakan untuk memperkenalkan karyawan baru terhadap lingkungan kerjanya dan memberikannya kesempatan untuk bersosialisasi satu sama lain. dengan demikian, diharapkan karyawan tersebut dapat memahami budaya perusahaan dan memenuhi need for affiliation. Pelatihan dan pengembangan (yang antara lain bertujuan untuk meningkatkan kualitas karyawan, mencegah keusangan karyawan, dan meningkatkan motivasi kerjanya), penilaian prestasi kerja, perencanaan karier yang berlaku di perusahaan termasuk dalam kategori need for achievement. Selain itu, perencanaan karier dan penempatan, misalnya promosi, job enrichment atau empowerment, masuk dalam kategori need for achievement. Contohnya adalah tercapainya standar gaji / upah tertentu yang cukup kompetitif atau menarik di bandingkan dengan pesaingnya. Need for affiliation contohnya adalah kawan sekerja yang menyenangkan, atasan yang bijaksana. Need for power, misalnya bawahan yang menyenangkan dan dapat dikelola untuk bekerja sama.
Mengulang kesuksesan tahun lalu, PT. Wijaya Karya (WIKA) kembali meraih 5 penghargaan dari 17 kategori yang diperebutkan dalam ajang penghargaan BUMN & CEO BUMN Award 2006, yang diselenggarakan oleh Majalah Business Review dan didukung oleh Kementrian Negara BUMN serta dewan juri yang berasal dari praktisi dan professional yang kompeten di bidangnya.
WIKA meraih predikat BUMN of The Year 2006, CEO of The Year 2006, The Best in Construction, Industrial Estate & Various Industry Sector, The Best Human Resources dan The Best Operation pada acara penyerahan penghargaan tersebut, Jumat (25/8) di Flores Ballroom, Hotel Borobudur Jakarta.
Dalam proses penjurian 7 Agustus 2006 yang lalu di Hotel Shangrila-Jakarta, dihadapan dewan juri, jajaran Direksi WIKA menjelaskan tentang kinerja dan proses bisnis yang saat ini dilaksanakan dan dikembangkan WIKA, sejalan dengan VISI dan MISI WIKA 2010 untuk menjadi terkemuka di Asia Tenggara di bidang Konstruksi dan Engineering. Penjabaran VISI dan MISI WIKA 2010 ini dituangkan dalam WIKA STAR MODEL yang diukur secara sistimatis dengan menerapkan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE).
Keunggulan sistem pengembangan SDM yang berbeda, adalah setiap SDM WIKA dikembangkan berdasar dari keunggulan talenta yang dimilikinya, hal itu juga didukung dengan penerapan metode NLP (Neuro Linguistic Programming) dengan melalui metode experimental learning, dimana insan WIKA di dorong untuk memunculkan kemampuan terbaiknya dalam memberikan kontribusi kepada perusahaan. Program-program yang dilaksanakan antara lain program Corporate Awareness untuk tingkatan staf, program Corporate Care ditingkat manajer dan Breakthrough Leadership Program untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin WIKA.
Disamping itu dengan didasarkan pada keyakinan bahwa Hanya yang unggul yang akan tumbuh seluruh SDM WIKA didorong untuk selalu ber inovasi, menghasilkan sesuatu yang beda dengan mutu yang lebih baik untuk menciptakan keunggulan kompetitif. Semua kegiatan ini dimanajemeni dengan menerapkan Knowledge Management System (KMS), dan sejak tahun 2005 WIKA telah mencanangkan diri sebagai organisasi pembelajar (Learning Organization). Atas program yang dilaksanakan ini, WIKA telah memperoleh penghargaan The Most Admire Knowledge Enterprise (MAKE) 2006 dari Dunamis Organization Service.
Dalam pengukuran kinerja, WIKA telah menerapkan sistem pengukuran dengan Balanced Scorecard, yang disebut WIKA Scorecard dimana sistem pengukurannya dilaksanakan secara berjenjang melalui Project Scorecard, Division Scorecard dan Corporate Scorecard. Pengukuran kinerja tersebut, selanjutnya disempurnakan lagi untuk mengukur standar kinerja ekselen dengan menerapkan Malcolm Baldrige Criteria for Performance Excellence (MBCfPE), dimana dalam ajang penghargaan Indonesia Quality Award (IQA) 2005 yang diselenggarakan oleh BUMN Executive Club (BEC) dengan dukungan dari Kementrian Negara BUMN, WIKA meraih predikat sebagai salah satu yang terbaik, yaitu masuk dalam kategori Good Performance .

WIKA berharap pada tahun 2007 sesuai dengan srategi jangka panjang, telah memiliki pangsa pasar di Asia Tenggara dan menjadi perusahaan yang unggul dalam memenangkan kompetisi usaha baik di lingkup nasional maupun regional. WIKA akan terus maju dalam peningkatan kualitas kinerja dan semakin dikenal melalui penerapan nilai-nilai WIKA yang bersifat best practice dan penerapan etika bisnis (Good Governance) yang makin baik.

SELAMAT MELAKUKAN UJI COBA LEARNING ORGANIZATION.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Blogroll

Ini adalah aneka tugas kuliah yang saya kerjakan dan saya dapatkan saat kuliah Manajemen tahun 2006 hingga lulus. Hampir sepuluh tahun yang lalu. Koreksilah dahulu, cocokkan dulu dengan bahasannya dan jangan asal kopi-paste, karena bisa saja edisi bukunya berbeda sehingga soal-soalnya berbeda dan akhirnya jawabannya juga berbeda. Adanya gini, jangan minta lebih. Kalau mau perfect ya kerjakan sendiri. Tugas-tugas saya ini hanya sebagai penunjang yang fungsinya supporting, bukan sebagai tulang punggungnya. Gunakan dengan bijak, semoga bermanfaat.

About