Pages

Rabu, 07 Maret 2007

MAKALAH INDIVIDU PANCASILA UU KEWARGANEGARAAN TERBARU : TEROBOSAN MASALAH DWIKEWARGANEGARAAN

BAB I
PENDAHULUAN


Rita (48), salah satu wanita keturunan China Benteng di daerah Kampung Belakang, Jakarta Barat, sehari-hari mengandalkan hidup dari jasa mengurut. Tetapisaat itu dia bersama rekannya rela meninggalkan pekerjaan karena ingin menyaksikan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kewarganegaraan baru.

 Kelompok perempuan yang tergabung dalam Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KCP Melati) juga datang memenuhi balkon Ruang Paripurna DPR. Begitu Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno mengetuk palu sebagai tanda persetujuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan ini ditetapkan menjadi undang-undang (UU), mereka pun spontan berpelukan dan menangis haru. Bendera Merah Putih kecil yang dibawanya langsung diacungkan dan dikibar-kibarkan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun disenandungkan.
Peristiwa diatas hanyalah secuil kisah nyata yang terjadi setelah disetujuinya UU Kewarganegaraan Indonesia yang selama ini dianggap cukup merepotkan dan sedikit “bermasalah”.
Menurut UU No.62/1958 yang menganut asas Ius Sanguinis (kewarganegaraan mengambil garis darah ayah), anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Sebagai contoh di Inggris, yang sudah berstatus permanent resident (PR) banyak WNI yang tidak sadar bahwa anak mereka yang lahir setelah status PR keluar, menurut UU Kewarganegaraan Inggris otomatis si anak menjadi WN Inggris. Dan menurut UU Inggris itu, si anak baru bisa pindah kewarganegaraan lain setelah usia 18 tahun.
Kerepotan ini terjadi ketika kedua orang tua anak tersebut (berencana) meninggalkan Inggris sebelum anak berusia 18 tahun.
Selain itu, sungguh ironi. Betapa memilukan, ketika orang sudah bertahun-tahun lahir dan hidup di negeri ini, tetapi secara hukum dinyatakan atau diolok-olok sebagai bukan orang Indonesia. Coba tanyakan bagaimana perasaan Ivana Lie atau Susi Susanti, Hendrawan, atau orang lain yang sudah membela merah putih di dunia internasional, pernah mentok dan dinyatakan secara hukum sebagai bukan warga negara Indonesia karena tidak punya SBKRI?


BAB II
PEMBAHASAN

Substansi RUU
RUU Kewarganegaraan terdiri dari 8 bab dan 46 pasal. RUU ini merupakan usul inisiatif DPR. Pembahasan bersama pemerintah dilakukan selama empat masa sidang, mulai 24 Agustus 2005 sampai dengan 5 Juli 2006. RUU ini mengatur tentang siapa dan tata cara menjadi warga negara, penyebab kehilangan kewarganegaraan, serta ketentuan pidana bagi yang menghambat proses pewarganegaraan. Dalam menentukan warga negara, RUU ini berlandaskan pada asas nondiskriminatif, yaitu tidak membedakan perlakuan atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan jender.
Pasal 2 RUU ini, misalnya, menegaskan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
Definisi "bangsa Indonesia asli" ini tidak lagi dipandang dari aspek etnis, tetapi didasarkan pada aspek hukum. Penjelasan Pasal 2 menyebutkan, "Yang dimaksud dengan ’bangsa Indonesia asli’ adalah orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri".
Dengan aturan ini, anak WNI keturunan China, Arab, India, atau bangsa apa pun, otomatis adalah bangsa Indonesia asli. Pendapat akhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan bahwa definisi itu telah menihilkan pemojokan terhadap etnis tertentu di negeri ini.
Kesetaraan jender pun terlihat dengan adanya berbagai perubahan mendasar. Kalau peraturan kewarganegaraan sebelumnya berorientasi supremasi pria, sekarang tidak lagi.
Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing tidak membuat perempuan itu otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, terkecuali bila menurut hukum negara asal suami, kewarganegaraan istri harus mengikuti kewarganegaraan suami. Kendati demikian, perempuan itu pun tetap bisa mengajukan surat pernyataan tetap menjadi WNI dalam kurun waktu tiga tahun dan menjadi sponsor utama suaminya untuk menjadi WNI. (Pasal 26).
RUU ini juga memberi perlindungan maksimal pada anak-anak. Seorang anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dengan pria WNA, maka anak bersangkutan tetap WNI dan bisa berstatus kewarganegaraan ganda sampai usia 18 tahun.
Berbeda dengan UU sebelumnya, UU ini juga mengatur proses pewarganegaraan yang transparan, yaitu dengan memberi batas waktu proses pengurusan pewarganegaraan. Pemerintah pun diberi batas waktu enam bulan untuk membuat berbagai peraturan pelaksanaan UU ini. Pejabat yang dengan sengaja melanggar atau memperlambat proses pewarganegaraan pun akan dijatuhi bukan sanksi administrasi, tapi juga sanksi pidana. (Pasal 36)
Menghindari bahwa UU ini hanya menjadi sekadar "macan kertas", maka UU ini juga menegaskan bahwa peraturan lainnya yang bertentangan dengan UU ini dinyatakan tidak berlaku, mulai dari UU No 62/1958 sebagaimana telah diubah dengan UU No 3/1976 hingga UU 10 Februari 1910 tentang Peraturan tentang Kekaulanegaraan Belanda bukan Belanda (Stb 1910: 296 jo 27-458), serta peraturan lain berkaitan dengan kewarganegaraan.

BAB III
KESIMPULAN


Semangat pembaruan memang sudah terlihat dari proses pembahasan RUU ini. Berbeda dengan lainnya, Pansus sepakat mengadakan rapat secara terbuka di setiap tingkatan. Anggota DPR dan jajarannya telah membuka babak baru bagi seluruh warga negara di Indonesia.
Sebaliknya, setiap WNI dituntut kesetiaannya seperti tertuang dalam sumpah/janji WNI, yaitu "Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan Negara kepada saya sebagai WNI dengan tulus dan ikhlas".
Karena itu, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru, apresiasi layak diberikan kepada Pansus RUU Kewarganegaraan, juga kepada Prof Eko Sugitario, Pakar Hukum Tata Negara Ubaya dan aktivis multietnis di Surabaya, yang sejak 2002 terus menggodok dan mengupayakan legal drafting UU ini.
Spirit pasal itu amat dalam karena keragaman yang selama ini de facto ada, secara de iure atau secara hukum diakui keabsahannya oleh negara atau pemerintah. Dengan ini diharapkan keragaman dan perbedaan yang selama ini ada (seperti etnis) bisa menjadi potensi positif untuk membangun bangsa ke depan menuju bangsa besar yang menghargai keragaman dan perbedaan. Bukan sebaliknya, perbedaan menjadi modal untuk menghancurkan masa depan bangsa.
Belum Bisa Langsung Dipraktikkan
Meskipun UU kewarganegaraan baru telah ditetapkan 11 Juli 2006 lalu, namun UU ini baru bisa dipraktikkan paling cepat 9 bulan pasca persetujuan. Mengapa?
Untuk implementasi sebuah Undang-Undang, masih diperlukan peraturan pemerintah (PP) serta petunjuk pelaksana (juklak), berikuit sanksi-sanksi hukumnya bila terjadi pelanggaran atau penyelewengan yang dilakukan para petugas di lapangan.
Sebuah UU disahkan, setidaknya diperlukan enam bulan untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Barulah setelah itu dirancang lagi PP dan juklak-nya, yang paling cepat membutuhkan waktu tiga bulan. Setelah PP dan juklak diresmikan, barulah UU Kewarganegaraan yang baru itu benar-benar implementatif dan mengikat.
Meski begitu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi. Apalagi setelah pengesahan UU ini penulis mendapat berondongan pertanyaan bagaimana petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya atau singkatnya implementasi UU ini di lapangan. Bagaimana nasib ratusan ribu warga keturunan, seperti warga China Benteng yang selama ini tidak memiliki KTP atau akta kelahiran tetapi sudah bergenerasi tinggal di Indonesia? Otomatiskah mereka menjadi WNI? Bagaimana pula mereka akan mengurus hal lain, tetapi terganjal tidak memiliki KTP atau akta kelahiran, apa solusinya? Karena itu, sebagai follow up UU Kewarganegaraan mendesak dibuat peraturan pemerintah sebagai implementasi UU ini. Bagaimana praktiknya nanti? Ini adalah pekerjaan rumah bagi segenap elemen dan tiap anak bangsa. Sebab apalah artinya sebuah payung hukum bernama UU Kewarganegaraan yang menjamin diakhirinya diskriminasi, tetapi jika di alam nyata praktik berbangsa dan bernegara, diskriminasi, masih bercokol di dalam hati?
Sekali lagi, pengesahan UU ini baru langkah awal dari upaya menghapus praktik diskriminasi. Mengapa? Dengan pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang diskriminatif yang selama ini diterapkan. Dengan kata lain, orang-orang yang selama ini tidak termasuk kategori WNI asli, hendak dirangkul dan diakui eksistensinya oleh negara atau pemerintah sebagai bagian sah bangsa atau negeri ini.
Bahkan UU ini menjamin dan menegaskan para pejabat negara yang berani melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara. Jelas ini membanggakan karena selama ini oknum-oknum yang mengharuskan SBKRI itu tega berdiri di atas penderitaan orang lain. Ratusan ribu bahkan jutaan orang sudah menjadi korban penerapan SBKRI.
Melalui UU Kewarganegaraan yang baru disahkan, hukum kita telah mengupayakan jaminan, siapa pun dari latar belakang etnis apa pun bisa menjadi bagian integral bangsa ini atau menjadi warga negara Indonesia asal dilahirkan di Indonesia dan sejak kelahirannya tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri (Pasal 2).
RUU Kewarganegaraan yang baru juga memberikan kesempatan kepada para korban yang terpisah akibat peristiwa politik masa lalu untuk menjadi WNI secara otomatis seperti kasus warga di Timor Timur. Para atlet yang berprestasi juga akan langsung mendapat kewarganegaraan Indonesia. Undang-undang tersebut juga melindungi tenaga kerja Indonesia yang ada di luar negeri lebih dari lima tahun dengan memberikan perlakuan khusus.(AMR)
Bagian yang paling penting dari UU baru ini adalah dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun. Artinya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usai tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk mempersiapkannya, barulah di anak diwajibkan memilih salah satunya.
Dan bagusnya lagi, UU Kewarganegaraan baru ini juga berlaku bagi-anak anak yang lahir sebelum tanggal 11 Juli 2006. Artinya, anak-anak Indonesia di luar negeri yang karena peraturan negara mereka tinggal telah menjadi warga negara tsb bisa apply menjadi WNI dan mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usai 18 tahun + 3 tahun masa peralihan.
Apalah arti bahasa hukum, tidak ada lagi pemisahan pribumi dan nonpribumi, tidak ada asli atau bukan, tetapi di alam nyata orang suka menunjuk hidung atau berbisik menunjukkan etnis dengan nada sinis? Karena itu setelah UU Kewarganegaraan ini disahkan, menjadi PR bagi kita untuk bisa menerima perbedaan (seperti etnis) dengan keikhlasan dan tanpa prasangka.

Semoga dengan diresmikannya UU ini, ruang kebersamaan kita bukan kian menyempit, justru makin luas dan lapang, sehingga kita bisa berbuat sesuatu yang lebih bermakna bagi bangsa daripada harus berpolemik atau berkonflik etnis yang hanya membuang energi. Negeri ini akan jaya jika perbedaan dan potensi tiap warganya bisa diakomodasi dan diakui.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Blogroll

Ini adalah aneka tugas kuliah yang saya kerjakan dan saya dapatkan saat kuliah Manajemen tahun 2006 hingga lulus. Hampir sepuluh tahun yang lalu. Koreksilah dahulu, cocokkan dulu dengan bahasannya dan jangan asal kopi-paste, karena bisa saja edisi bukunya berbeda sehingga soal-soalnya berbeda dan akhirnya jawabannya juga berbeda. Adanya gini, jangan minta lebih. Kalau mau perfect ya kerjakan sendiri. Tugas-tugas saya ini hanya sebagai penunjang yang fungsinya supporting, bukan sebagai tulang punggungnya. Gunakan dengan bijak, semoga bermanfaat.

About