KASUS ETIKA BISNIS DALAM ADAM AIR
A.
PROFIL PERUSAHAAN
Adam Air memiliki nama lengkap Adam SkyConnection Airlines, PT. dengan
kode IATA/ICAO yakni KI/DHI. Adam Air berdiri pada 21 November 2002 yang
berbasis di Soekarno-Hatta Jakarta dan Medan serta Surabaya sebagai secondary
hubs-nya. Pendirinya adalah Agung Laksono dan Sandra Ang. Sementara Gunawan
Suherman menjabat CEO dan Adam Adhitya Suherman duduk sebagai President Director.
Adam Air hadir sebagai low-cost carrier, tetapi juga memberikan layanan
on-board yang cukup baik dengan harga tiket kompetitif. Mereka mulai beroperasi
pada 19 Desember 2003 dengan 2 pesawat Boeing 737 yang disewa (leasing) dari GE
Capital Aviation Services. Saat ini Adam Air memiliki 24 pesawat dan melayani
30 rute domestik ke berbagai kota di Indonesia dan dua rute internasional
Medan-Penang dan Jakarta-Singapura. Rata-rata Adam Air mampu mengangkut 15.000
penumpang per hari dalam 73 kali penerbangan dengan tingkat book rate 90%.
Karena prestasi tersebut, Adam Air menerima penghargaan Award of Merit untuk
kategori Low Cost Airline of the Year 2006.
B.
KASUS YANG DIHADAPI PERUSAHAAN
Pesawat Adam Air Boeing 737-400 PK-KKW KI 574 jurusan Surabaya-Manado
dikabarkan hilang tak terpantau radar yang seharusnya tiba di Bandara Sam
Ratulangi pukul 15.07 WITA. Pesawat ini berangkat dari Bandara Juanda,
Surabaya, pukul 13.00 WIB. Menurut sumber dari Bandara Juanda, terakhir kontak
dengan pesawat Adam Air ketika pesawat berada di atas perairan Masalembu pukul
14.07 WITA. Sebelumnya pilot sempat menanyakan cuaca setempat. Namun, setelah
itu hubungan terputus dan posisi pesawat hilang dari radar.
Pesawat jenis Boeing 737-400 ini memiliki persediaan bahan bakar untuk
terbang selama empat jam. Pesawat ini membawa 85 penumpang dewasa, 7 anak-anak
dan 4 bayi serta 6 awak. Pesawat berangkat dari Surabaya pukul 13.00 WIB dan
dijadwalkan mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, pukul 15.07 WITA. Kabarnya,
sebelum insiden tersebut, Lanud setempat sempat menangkap sinyal emergensi
sebanyak dua kali.
Pesawat Boeing 737-4Q8 PK-KKW dengan nomor serial 24070 LN:1665 pertama
kali terbang pada tahun 1989 (18 tahun). Sebelum dibeli Adam Air, pesawat ini
dimiliki JAT (11 Desember 2002 sampai dengan 1 Desember 2005). Sebelumnya,
pesawat ini pernah digunakan juga oleh British Airways (7 September 1992 sampai
dengan 19 Maret 1995). Terakhir pesawat diinspeksi pada 25 Desember lalu dan
telah terbang sebanyak 45.371 jam. Meski baru menggunakan pesawat tersebut
selama sekitar 1 tahun, Adam Air sebenarnya memelihara pesawat yang sudah cukup
uzur. Bandingkan juga dengan Lion Air yang tergelincir di Solo (20 tahun) dan
Mandala Air yang gagal take off di Medan (24 tahun). Usia dan Risiko Pesawat
Rekan Marek Bialoglowy pernah menulis soal keamanan berpesawat di
Indonesia. Rata-rata umur pesawat yang beroperasi di Indonesia sudah di atas 17
tahun kecuali Garuda Indonesia yang rata-rata umur armadanya hanya 10 tahun.
Pesawat Adam Air sendiri rata-rata berumur 18,1 tahun, kecuali sebuah pesawat
berusia kurang dari 10 tahun khusus untuk melayani rute Singapura.
Dalam suatu penerbangan, risiko sebenarnya terkait dengan person,
behavior, dan environment. Celakanya, behavior sering menjadi aspek yang justru
diabaikan. Kalau disiplin demikian diabaikan, akan menimbulkan minor injury yang
sama artinya dengan membuka pintu kecelakaan. Memang, faktor usia menyumbang
salah-satu risiko kecelakaan. Namun, maintenance juga berperan penting.
Mayoritas aircraft di Indonesia memang cukup tua yang berarti lower ownership
cost, but higher maintenance cost. Kalau operator tidak patuh pada regulatory
requirement, maka aircraft age ditambah bad behavior menjadi penyebab
kecelakaan terbesar.
Di dunia penerbangan, Singapore
Airlines dikenal memakai aircraft age sebagai senjata promosinya. Namun,
pesawat baru tersebut memang ditunjang dengan operasional yang excellent. Tapi
coba kita lihat Adam Air. Dalam kampanye pemasarannya, Adam Air bilang, “Fly
with us with our new Boeing 737-400“. Faktanya, pesawat-pesawat tersebut bukan
“baru” dalam artian keluar dari pabrik. Kadang kita malah diberangkatkan bukan
dengan 737-400, melainkan 737-200 yang lebih tua. Apa namanya kalau bukan
misleading dan pembohongan publik?
Di Indonesia, pesawat diperoleh dalam keadaan lease atau buy second hand.
Paper work mungkin mengatakan bahwa pesawat airworthy sesuai standar. Namun di
Amerika, pesawat yang baru dibeli biasanya diberlakukan aditional
maintenance/inspection selama 30 hari. Di Boeing, mereka men-charge US$ 325/jam
untuk engineering help kalau pesawat tidak dibeli langsung dari mereka.
Padahal, dalam satu kali inspeksi setidaknya bisa mencapai 200
maintenance/repair items yang jelas butuh banyak biaya. Kalau kita lihat pada
sambungan badan (fuselage joint) pada pesawat-pesawat tersebut, memang
sebenarnya sudah waktunya untuk mereka diistirahatkan. Lihat juga pada bagian
sayap yang kotor dan banyak sekali keretakan, engine cover yang mengelupas, dan
pintu kabin yang sudah saatnya dipensiunkan. Di dalam kabin, sering kita jumpai
headlight yang tidak menyala, air conditioner yang tidak bisa diatur, back rest
kotor dan berdebu, serta panel kabin yang usang. Lupakan juga cabin fire
properties dan fire containment requirement yang kurang memadai.
Di sistem navigasi/avionics juga terdapat LRU yang seharusnya diganti
setelah sekian ribu jam terbang. Jaman sekarang, tidak ada alasan untuk terbang
“buta” tanpanya. Korban Mandala dulu pernah menuntut soal ini. Dan di Qantas,
mereka menyebutnya “poltergeist manuever.” Nah, pertanyaannya apakah mungkin
operator pesawat di Indonesia sanggup membayar harga tersebut? Kemudian, apakah
aditional maintenance/inspection tersebut juga dijalankan? Dulu penumpang Adam
Air mogok naik pesawat karena pesawat masih putih polos dalam keadaan belum dicat
namun dipaksa beroperasi.
Authority dan Regulatory Body Pihak authority sebenarnya selalu
melakukan pengecekan berkala dan mengeluarkan segala aturan modifikasi yang
mungkin diperlukan untuk setiap tipe pesawat. Standarnya berlaku internasional
mengacu pada FAA. Namun, untuk komponen, pihak authority masih memberikan
keleluasaan. Mereka membagi dalam GO/NOGO items. Kategori NOGO berarti
peralatan tersebut harus beroperasi dengan baik ketika pesawat akan
diterbangkan. Sedangkan GO berarti peralatan tersebut boleh tidak beroperasi
dengan catatan:
1. Ada
peralatan lain yang berfungsi sama atau fungsinya bisa di-backup peralatan
lain.
2. Peralatan
tersebut tidak bersifat safety.
3. Ketidakoperasiannya
tidak mengganggu peralatan lainnya.
Kebanyakan pesawat yang akan dijual atau disewakan (leasing) memiliki
data-data seperti aircraft general, maintenance data, engine data, propeller
data, landing gear data, hydrolic data, pilot tube, dan sebagainya yang mengacu
pada regulasi yang diterbitkan DGAC/SDKU. Tetapi di Indonesia, data-data
tersebut tidak ada atau tidak up to date. Alasannya, jika terjadi audit
dikuatirkan biayanya akan sangat mahal. Untuk mengkalibrasi pilot tube juga
sangat mahal. Belum lagi dokumen resmi pendukung yang tidak ada (atau
ditiadakan) bahkan untuk ground run/run up saja jarang dilakukan.
Menurut
Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 5 Th. 2006 tanggal 17 Januari 2006 tentang
Peremajaan Armada Pesawat Udara kategori Transport untuk Angkutan Udara
Penumpang, berbunyi:
PASAL 2: jika ada pesawat baru yang masuk untuk operasi ke Indonesia dari
Luar negeri dikenakan umur pesawat maksimal 20 th atau 50.000 cycle.
PASAL 4: jika pesawat sudah
masuk dan sudah beroperasi ada/lama di Indonesia dikenakan umur pesawat 35 th
atau 70.000 cycle.
Beberapa
bulan lalu para pakar dan ahli akademi penerbangan mengadakan evaluasi seluruh
pesawat yang beroperasi di Eropa. Hasilnya kemudian ada 90 pesawat yang masuk
daftar hitam dan 14 maskapai dicurigai melanggar prosedur. Itu di Eropa, di
mana bisnis dijalankan dengan fair dan disiplin serta keselamatan merupakan prioritas.
Bagaimana
dengan di Indonesia? kalau hal serupa dilakukan di Indonesia tentu jumlahnya
bisa sangat mengejutkan. Jatayu, Bouraq, Pelita (dalam proses) sudah ditutup.
Mandala sedang direstrukturisasi. Kartika dan Star belum diketahui kabarnya.
Dan mungkin Adam Air juga tinggal menunggu waktu. Dan kalau melihat banyaknya
pelanggaran dan kecelakaan yang terjadi, mungkin sudah saatnya juga Peraturan
Menteri Perhubungan tersebut direvisi sebelum korban jatuh lebih banyak.
Masalah-masalah di darat ambil contoh penerbangan 2 jam. Mengacu pada
batas landing maksimum (maximum landing weight/MZFW), pesawat boleh membawa
kargo sampai 2,8 ton yang memberikan keuntungan sekitar US$ 9.000. Asumsikan
jumlah penumpang maksimum 150 orang dengan harga tiket US$ 30, maka pendapatan
dari tiket hanya separuh dari pendapatan kargo. Dengan hitung-hitungan semacam
itu, nyawa seorang penumpang hanya “dihargai” sekitar US$ 60.
Itulah
mengapa banyak maskapai penerbangan (termasuk Adam Air) yang sangat
memprioritaskan kargo sehingga “agak” mengorbankan keselamatan penumpang. Dalam
hal ini, tugas Chief Pilot hanya:
1.
maximise cargo revenue to the limit
2.
cutting cost to the absolute minimum. Bahkan, Sandra
Ang bahkan terkenal dengan quote-nya, “Forget the pax complaints, fill the hold
with cargo at all cost.”
Selain kasus
keluarnya belasan pilot Adam Air yang kemudian dituntut balik oleh manajemen,
Adam Air sebenarnya juga pernah punya masalah dengan Flight Operation Officer
(FOO) mereka yang melakukan pemogokan 11 Agustus lalu. FOO menganggap
lingkungan kerja yang sudah tidak kondusif serta konflik yang sering terjadi
dengan manajemen. Masalah ini membuat operasional mereka sangat terganggu.
Kemudian, dari 46 FOO yang melakukan pemogokan, 33 di antaranya langsung
dipecat hari itu juga.
Kekosongan
ini kemudian membuat Adam Air “mengimpor” FOO dari luar, bahkan FOO yang
sebenarnya tidak memiliki lisensi. Mereka tidak memiliki pengetahuan soal
Aturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulation/CASR),
kebutuhan bahan bakar, limit bobot maksimum, dan sebagainya. Adam Air juga
melakukan walk-in interview dan langsung mempekerjakan mereka, termasuk
applicant yang pernah ditolak sebelumnya. Bahkan mantan district manager Bouraq
dan station manager Jatayu dimasukkan juga ke dalamnya. FOO tersebut
disupervisi oleh seorang ramp manager yang juga tidak memiliki lisensi.
Akibatnya, baik FOO maupun ramp manager sering tidak bisa mengatasi
masalah/konflik yang muncul sebelum penerbangan dilakukan. Tugas FOO sendiri
sebenarnya untuk mengukur payload agar sesuai dengan performance limit. Tentu
saja, tanpa lisensi dan pengetahuan yang memadai, FOO cuma berpikiran selama di
pesawat ada space, kenapa tidak diisi saja penuh. Lupakan sejenak soal safety,
engine climb, performance, dan sebagainya.
Belum lagi
soal korupsi BBM. Ketika captain pilot meminta agar fuel diisi 10.000 kgs, tak
jarang ramp hanya memberikan 9.500 kgs. Seperti diketahui, pembelian avtur
harus dibayar cash, dan sudah jadi rahasia umum kalau operator sering sekali
ngemplang. Tentu saja selain mengundang protes dari pilot itu sendiri, supplier
juga komplain kepada senior management karena harus meretur sebanyak 500 kgs.
Kalau sudah “ketahuan” begini, biasanya kesalahan akan ditimpakan ke FOO yang
sebenarnya tidak tahu apa-apa.
Etika Bisnis
Penerbangan, seperti beberapa maskapai penerbangan di Indonesia: Adam
Air, Lion Air, Wings, Batavia, Jatayu, Mandala, dan seterusnya, mayoritas
maskapai tersebut didirikan (atau dibeli) dan oleh taipan-taipan bisnis di
Indonesia yang sebenarnya menikmati backup dari komunitas bisnis maupun dari
para elit politik Indonesia.
Alasan pendirian/pembelian maskapai tersebut lebih didasarkan oleh ego
dari masing-masing kelompok bisnis (pet projects). Apalagi uang yang
diinvestasikan dalam bisnis tersebut diduga diperoleh melalui illegal means
seperti korupsi yang begitu tinggi. Jadi, mereka sebenarnya berbisnis tanpa
menanggung risiko apapun karena yang mereka pertaruhkan memang bukan uang
mereka. “Nothing to lose.” Urusan
analisis pasar, perhitungan bisnis, proyeksi keuangan, dan sebagainya
“terpaksa” dipinggirkan terlebih dulu. Tentunya, bisnis yang dijalankan tanpa
perencanaan dan strategi yang bagus akan banyak menuai masalah. Apalagi di
jaman sekarang. Perusahaan bagus dengan visi misi yang jempolan saja banyak
yang berguguran. Lalu, bagaimana dengan bisnis penerbangan tersebut? Apalagi
pemiliknya bukan orang yang mempunyai pengetahuan/pengalaman di dunia airlines.
Di Indonesia, dengan uang dapat membeli apapun. Kalau ada kasus tertentu, masalah
ijin/perpajakan, tuntutan hukum, atau kegagalan sistem yang mengakibatkan
risiko kecelakaan, bisa diatasi dengan negosiasi dan amplop. Dan itu sungguh
sangat lumrah. Apalagi ketika terjadi kecelakaan, kerugian penumpang ditanggung
oleh pihak asuransi. Maskapai hanya memberi sedikit “kompensasi” tambahan. Dan
amplop tersebut tak hanya ditujukan bagi pemerintah/aparat terkait. Amplop
memang juga bisa dikirim kepada korban/keluarga korban (bila terjadi
kecelakaan) atau media untuk membeli silence. Kalaupun ketahuan dan atau harus
diproses, tinggal lemparkan saja kepada orang yang (dipaksa) menandatangani sheets/kontrak.
Bisa jadi, masalah-masalah semacam ini yang kemudian menimbulkan
benturan-benturan antara manajemen dengan karyawan. Itulah juga mengapa banyak
pelanggaran/masalah serius terjadi namun tidak pernah muncul dalam pemberitaan.
Pelanggaran
etika bisnis yang terjadi pada maskapai penerbangan Adam air mungkin juga
terjadi pada maskapai penerbangan lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dari
banyaknya kecelakaan pesawat yang terjadi seperti berikut ini :
v
26 September 1997, pesawat Garuda Airbus A-300B4
jatuh di kawasan pegunungan utara Sumatera di sekitar kota Medan. Sejumlah 222
penumpang dan 12 kru tewas dalam kecelakaan terbesar tersebut.
v
104 penumpang Singapore SilkAir Boeing 737-300
tewas pada 19 Desember 1997 di dekat kota Palembang.
v
Helikopter militer Indonesia jatuh pada 12
Oktober 2004 di kawasan utara Aceh. Sebanyak 8 orang tewas di tempat dan cuaca
buruk diduga sebagai penyebab utama.
v
Lion Air MD-82 tergelincir di Bandara Adisumarmo
Solo pada 30 November 2004, membawa 146 penumpang dan menewaskan 31 di
antaranya.
v
23 Desember 2004 sebuah helikopter militer
kembali jatuh di kawasan Jawa Tengah dan menewaskan 14 prajurit TNI AU. Cuaca
buruk diduga menjadi penyebab utama.
v
Helikopter Sea King jatuh di Kepulauan Nias pada
2 April 2005 menewaskan 9 orang.
v
Pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines gagal
take off dan jatuh di sekitar kawasan Bandara Polonia Medan yang padat
penduduk. 102 penumpang dan 47 penduduk setempat tewas pada 5 September 2005
itu.
v
PT Trigana Air Service jatuh di Desa Bioga,
Kabupaten Puncak Jaya, Papua beberapa waktu lalu. 12 korban jatuh dalam
peristiwa tersebut.
v
2 Januari 2007, pesawat MD-90 Lion Air
tergelincir di Bandara Pattimura Ambon. Tidak ada korban dalam insiden
tersebut. Sepanjang 2006, tercatat lima kali insiden menimpa Lion Air, termasuk
24 Desember silam, saat Boeing 737 tergelincir di Bandara Hasanuddin, Makasar.
Sebelumnya 18 Januari 2006, Lion Air mengalami kecelakaan serupa di bandara
yang sama juga.
C.
SOLUSI PERMASALAHAN
Dari segala aspek permasalahan yang terjadi pada maskapai penerbangan di Indonesia,
pihak pemerintah mengambil kebijakan untuk mengoreksi ulang sistem channel perhubungan
darat melalui Dinas Perhubungan, mulai dari sistem navigasi, struktur rangka
pesawat, safety airline standard, serta yang paling penting adalah manajerial
masing-masing maskapai. Disini manajer penerbangan disarankan bahkan diwajibkan
untuk mengelola sebuah maskapai penerbangan tidak hanya berasumsi pada
bagaimana perusahaan ini dapat berkembang dan mencapai target penjualan jasa
penerbangan yang mereka inginkan, namun juga bagaimana keselamatan pelanggan
dapat terjamin atau dapat dikatakan memberi pelayanan yang memuaskan.
Perusahaan penerbangan berkewajiban menyediakan lingkungan kerja yang
aman dan sehat bagi semua individu baik dalam maupun luar perusahaan dan
mengintegrasikan aspirasi tentang lingkungan hidup dalam praktek-praktek bisnis
dan bertanggung jawab untuk melindungi lingkungan kerja dan tunduk pada hukum
atau peraturan yang berlaku dimana perusahaan mengoperasikan
fasilitas-fasilitasnya sesuai prosedur dengan pertimbangan kelangsungan hidup
publik (karyawan maupun pelanggannya) pada tingkat kelayakan yang tinggi di masing-masing
bagian dan unit kerja.
KESIMPULAN
Perusahaan berkomitmen untuk sepenuhnya menjunjung tinggi seluruh
penerapan “antitrust”, pengaturan perdagangan dan hukum-hukum persingan lainnya
di dunia. Setiap individu dalam perusahaan yang terlibat dalam segala bentuk
kegiatan operasional diharuskan memberikan konsekuensi yang serius terhadap
perusahaan termasuk dampak sosial, denda, hukum dan reputasi.
Perusahaan memberikan kinerja yang optimal dan menjaga citra yang baik
untuk meningkatkan animo masyarakat dan rasa percaya terhadap sistem
transportasi udara. Dalam sistem manajemen penerbangan, perusahaan didasarkan
pada regulasi yang baik dan konstruktif atas dasar kejujuran dan kepatuhan pada
standard safety internasional airlines.
Perusahaan penerbangan seharusnya menjunjung prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam
penyampaian informasi yang menyangkut perusahaan, situasi keuangan, kinerja dan
kepemimpinan sebagai perwujudan tanggung jawab kepada publik.
Kesalahan pemasukan data atau yang dibuat-buat dalam usaha atau tindakan
yang tidak diijinkan melalui penyalahan pembelian atau tagihan atau manipulasi
yang fiktif sangat mutlak tidak dapat diterima karena dapat menurunkan nilai
etika internal maupun eksternal sehingga tidak dapat ditoleransi oleh publik.
0 komentar:
Posting Komentar