Dunia bisnis selalu
berubah secara cepat dan tidak terduga. Untuk bisa tetap selamat dalam kondisi
yang demikian, setiap organisasi bisnis harus mampu cepat membaca dan mengenali
kondisi–kondisi baru dan segera beradaptasi terhadap perubahan itu. Kunci utama
agar dapat selalu beradaptasi dengan cepat dan tepat adalah menerapkan
organisasi pembelajar atau "learning organization". Learning organization adalah organisasi yang terlatih dalam
menciptakan, meraih, dan mengubah pengetahuan/informasi dan memperbaiki
sikapnya untuk mencerminkan pengetahuan dan pandangan baru. Setelah
mengikuti perjalanan ide lokakarya ini, terasa jelas bahwa syarat fundamental
dalam membangun ’learning organization’
adalah kemauan berbagi. Selain itu, juga diperlukan sosok pemimpin yang baik.
Hal–hal itulah yang
dibahas dan digali dalam International Workshop: Creating A Learning
Organization in Your Company. Lokakarya yang diselenggarakan 17 Mei 2005 lalu
ini menjadi salah satu lokakarya dari serangkaian seminar dan lokakarya
(workshop) yang digelar oleh Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB.
Antara lain, yang hadir
sebagai pembicara dalam lokakarya, Prof. Jann Hidajat Tjakraatmadja, Karl
Knapp, Ph.D., dan Prof. Richard W. Moore. Ketiganya juga merupakan staf
pengajar di SBM. Yang juga menarik dalam lokakarya ini adalah kehadiran dua
praktisi dari dunia bisnis konsultasi profesional, yaitu Bernardus Djonoputro
dari PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Heru Prasetyo dari Accenture Indonesia .
Keduanya membagikan banyak sekali pengalaman mereka dalam membina ’learning
organizations’.
Sebagai dasar pemahaman
mengenai ’learning organizations’, Prof. Jann Hidajat memberikan presentasi
awal yang mengulas mengenai konsep
’learning organizations’. Pada sesi awal ini, Prof. Jann memberikan pandangan
mengenai tiga gelombang "pembelajaran" (learning). Pada gelombang
pertama, organisasi dan perusahaan berkonsentrasi pada peningkatan proses kerja
(improve work process). Dalam fase ini, munculah konsep "kaizen",
TQM, dan konsep–konsep lain yang berbasiskan pada mengatasi hambatan dan
batasan. Selanjutnya, fase kedua memfokuskan pada peningkatan mengenai
bagaimana cara bekerja (improve how to work). Fase ini banyak berkutat pada
improvisasi cara berpikir dan pembelajaran mengenai masalah–masalah sistem yang
dinamis, kompleks, dan mengandung konflik. Pada gelombang ketiga, konsep
pembelajaran benar–benar tertanam dalam organisasi sebagai cara pandang dan
berpikir para pimpinan dan juga pekerja.
Sesi selanjutnya lebih
mengarah pada aplikasi konsep learning organization dalam kehidupan nyata. Dua
praktisi dunia bisnis konsultansi hadir membagikan pengalamannya mengenai
learning organization. Yang pertama adalah Bernardus Djonoputro dari
PricewaterHouseCoopers (PwC). Bernardus menceritakan pengalamannya dalam membangun knowledge management sebagai
implementasi dari learning organization. Sebuah bisnis konsultansi
sangat membutuhkan knowledge management yang kuat. Ini tercermin dengan
kebijakan PwC menempatkan Knowledge Management Departement dalam Business
Development. Sharing informasi adalah
kunci sukses; termasuk di dalamnya adalah berbagi pengalaman kesuksesan dan kegagalan tender. Knowledge
Management yang baik juga menjadi kunci
’standardisasi’ metodologi dalam sebuah bisnis konsultansi. Bernardus
menjelaskan berbagai sistem yang digunakan untuk membentuk knowledge
management.
Heru Prasetyo membagikan
pengalamannya mengimplementasikan learning organization di Accenture. Dalam
pemaparannya, Heru banyak menekankan berbagai keuntungan yang dicapai bila
organisasi ’belajar’. Organisasi yang mampu belajar akan dapat menjadi lebih efisien, efektif, serta fleksibel.
Yang menarik, adalah kesimpulan Heru, bahwa pembelajaran adalah kehidupan itu
sendiri (learning is life). Karena itu, pembelajaran
itu adalah hal yang alami. Bila pembelajaran
’diracuni’ oleh motif tertentu (pandangan sempit, lingkungan kerja yang
buruk, dsb) maka pembelajaran tidak
lagi alami dan malah mengarah pada kehancuran organisasi. Penutup
presentasinya menggugah hati. "Is life worth living? If it yes, then life
is worth exploring," ujarnya.
Pada sesi tanya–jawab,
muncul pertanyaan yang menarik dari Prof Moore: apa yang menjadi halangan
terbesar membangun learning organization di Indonesia . Jawaban kedua praktisi
ini sama–sama mengena. Bernardus mengungkapkan bahwa orang Indonesia
itu "senang melihat orang susah, dan susah melihat orang senang".
Ketakutan akan "tidak
kebagian" itu menghantui orang Indonesia . Sementara itu, menurut
Heru, selain masalah bahasa, budaya
kebebasan/demokrasi berpikir belum ada di Indonesia . Heru, lalu,
menyalahkan Orde Baru. Salah satu ekses yang muncul dari tidak adanya demokrasi
berpikir adalah euphimisme yang
berlebihan; menyebutkan dipenjara dengan diamankan, dsb. Ekses lain
adalah budaya berbicara basa–basi dan
tidak terbuka dalam pembelajaran.
Dari
keseluruhan perjalanan workshop ini, dapat disarikan satu kata kunci dalam
mewujudkan learning organization, yaitu berbagi.
Kemauan berbagi adalah sifat dasar
organisasi yang belajar; berbagi pengalaman sukses dan gagal. Pola pikir
’saya sudah sukses dengan begini dan saya mau kamu juga sukses seperti saya
dengan begini’ serta ’saya gagal karena ini dan saya tidak mau kamu gagal
karena ini’ harus menjiwai tiap individu dalam organisasi. Berbagai batasan,
terutama dari segi budaya, memang mewarnai implementasi learning organization
di Indonesia .
Namun, bagaimanapun juga konsep ini perlu
diusahakan dan diterapkan dalam organisasi–organisasi Indonesia demi selamat menghadapi
berbagai masalah baru dan perubahan zaman. Untuk itu, baiklah dimulai dengan
satu pertanyaan sederhana namun cukup mengusik: maukah berbagi?
LEARNING
ORGANISATION dalam ERA PERUBAHAN
Oleh
: Binari Sinurat, SE. , MS .
Wases DPN Korpri Sub Unit Ditjen PPHP
Email: Bina_rii@Yahoo.com
Zaman sudah berubah,
dimana..mana terjadi perubahan, tidak ada lagi yang abadi, yang abadi justru
perubahan itu sendiri. Tentang perubahan, ada orang yang sadar tentang
perubahan itu sendiri, dan ada orang tidak sadar tentang perubahan, yang jelas
dalam suatu periode waktu tertentu akan ada yang berbeda diantara dua kutub
waktu, dan yang berbeda itulah disebut perubahan. Organisasi, adalah wadah
kumpulan orang-orang dan berbagai aturan didalamnya tidak luput dari dampak
yang ditimbulkan perubahan, hanya saja ada orang yang merespon perubahan
itu dan ada yang tidak merespon. Tetapi sebagian besar orang di dalam
organisasi dapat merasakan dampak yang ditimbulkan perubahan itu sendiri. Bentuk
organisasi mekanisitik sebenamya tidak dapat dipertahankan lagi, digunakan
sebagai alat menjalankan fungsinya dalam era perubahan yang berlangsung sangat
cepat. Sehingga dibutuhkan satu bentuk lain dari organisasi, bentuk itu oleh
Peter Senge disebut dengan Learning Organization atau "organisasi
pembelajaran". Tulisan ini sengaja dimunculkan untuk memberikan wacana
bagi organisasi pemerintahan yang sebagian besar bersifat mekanistik yang mana
bentuk organisasi ini sudah kurang efektif untuk dapat digunakan menjawab
tantangan zaman yang semakin hari semakin tajam. Sadar atau tidak sadar kami
menghimbau para pengambil kebijakan agar cepat memikirkan perubahan ini, untuk
memperoleh organisasi berkinerja tinggi, khususnya organisasi proyek-proyek
yang sedang dan akan dijalankan.
PERUBAHAN
Pada tahun 1990-1993,
penulis menjadi tutor bagi 100 orang anggota DPR dari fraksi ABRI untuk bidang
ekonomi dan manajemen. Pada saat ini kami selalu mengingatkan bahwa akan
terjadi perubahan besar dalam pasar tenaga kerja di Indonesia. Dimana pada saat
itu tenaga kerja jarang bahkan tidak pernah melakukan aksi atau demonstrasi,
karena penguasa pada saat itu telah berhasil menciptakan budaya diam didalam
perusahaan.
Namun saat ini semua telah berubah, setiap
hari kita menonton di televisi rangkaian protes dan demonstrasi ribuan pekerja
menentang upaya-upaya yang dilakukan pemerintah terhadap berbagai perubahan
terhadap perundang-undangan tentang perburuhan di Indonesia . Dalam waktu yang
bersamaan, mesin perubahan dalam lingkungan eksternal terus berproses dan tidak
bisa ditahan sesaatpun. Keterbukaan pada berbagai aspek kehidupan juga ikut
memicu semakin cepatnya proses perubahan itu terjadi.
Situasi yang terjadi pada
berbagai organisasi perusahaan seperti diuraikan diatas, juga mungkin terjadi
pada organisasi pegawai negeri apabila tidak dikelola dengan baik. Korpri
satu-satunya wadah perkumpulan pegawai negeri harus secara proaktif
mengantisipasi berbagai perubahan dalam lingkungan eksternal yang berdampak
terhadap lingkungan internal pegawai negeri sipil. Dari sisi perilaku kita bisa
menemukan adanya perbedaan perilaku dalam diri pegawai saat ini dibandingkan
perilaku dalam diri pegawai awal tahun delapan puluhan.
Dalam ilmu manajemen
telah banyak management tools yang muncul sebagai respon terhadap berbagai
perubahan tersebut, bahkan sebagai alat untuk mengelola perubahan, atau dengan
kata lain telah banyak management tools yang sudah diujicobakan untuk menemukan
management patterns yang tepat digunakan dalam menjalankan suatu organisasi.
Penggunaan TQM, Gugus
Kendali Mutu, Good Governance, Good Corporate Governance, Business Process
Re-Engineering, Balldrige Scorecard dan management tools lainnya, dimaksudkan
sebagai respon suatu organisasi terhadap perubahan yang sedang terjadi. Bahkan
pada suatu perusahaan kelas dunia seperti General Electric (GE) telah
menghasilkan management tools untuk menemukan management tools terbaik bagi
perusahaannya, seperti CAP (Change Acceleration Process), Six Sigma, Business
Transformation Tools, dll. Namun demikian, tidak banyak organisasi yang
berhasil menerapkan berbagai management tools tersebut. Terbukti dibeberapa
negara penggunaan berbagai management tools tersebut justru membawa dampak yang
buruk terhadap kinerja organisasi.
Beberapa literature
manajemen dan leadership knowledge melaporkan banyak contoh kegagalan strategi
manajemen yang melibatkan perubahan dan pengembangan organisasi secara
besar-besaran. Mayoritas upaya ‘downsizing’ dan ‘delaying’ tak berjalan seperti
yang diharapkan. Survey di Amerika Serikat, ditemukan bahwa 63 persen program
TQM (Total Quality Management) gagal menghasilkan perbaikan kualitas dan hanya
10 persen yang berhasil. Tak jauh dari itu, kegagalan inisiatif BPR (Business
Process Re- engineering) di Amerika Serikat berkisar antara 50-70 persen.
Kejadian serupa juga terjadi di Eropa. Walau dua pertiga perusahaan yang
terdaftar di top 500 Inggris menerapkan TQM, hanya 8 persen yang bisa disebut
berhasil. Kebanyakan inisiatif BPR hanyalah sekedar simplifikasi proses
ketimbang rekayasa-ulang dan hanya 10 persen mencapai terobosan penting. Dalam
hal perubahan budaya, dilaporkan sekitar 80 persen gagal. Tingkat kegagalan
yang tinggi juga terjadi pada perubahan menyangkut IT. Sekitar 80-90 persen
investasi di bidang IT gagal, berdampak pada kinerja.
Berdasarkan kedua cerita
diatas, hal itu akan menambah daftar panjang inisiatif perubahan yang gagal
yang dialami suatu organisasi, dengan segala konsekuensinya masing-masing.
Sementara itu, kita akui organisasi mesti berubah agar mampu mendongkrak daya
saing menghadapi persaingan global. Pendekatan lama kini banyak menuai kritik
karena terlalu menekankan pada perubahan inkremental dan terisolasi, selain
memang tak pernah dimaksudkan untuk dapat ditempatkan pada semua situasi
perubahan, apalagi dimana dibutuhkan perubahan cepat, koersif, atau
besar-besaran. Jadi kita perlu pendekatan-pendekatan baru.
LEARNING ORGANISATION (LO)
Metode lama dan gaya manajemen lama yang
digunakan selama ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi untuk menjalankan organisasi dan menghasilkan organisasi berkinerja
tinggi. Seperti, memberikan gaji yang tinggi, memberikan jabatan bagi staff
yang memprotes pimpinannya, mengirim staf mengikuti training atau workshop,
bukan merupakan solusi strategis untuk menciptakan organisasi berkinerja tinggi
dalam era perubahan.
Mengapa Pembelajaran Penting?
Saat ini, segala
sesuatu berubah begitu cepat sehingga sulit diikuti.
Orang dan atau organisasi yang tidak bisa mengikuti perubahan akan ketinggalan
atau terpinggirkan (mungkin pengangguran). Organisasi yang tak mampu berubah
mengikuti irama pasar global bisa jadi tidak memiliki masa depan. Dengan
demikian hanya satu cara yang dapat digunakan untuk mengatasi perubahan, yaitu belajar
dari perubahan itu sendiri, dan cara yang paling mudah dan tepat adalah melakukan
fungsi BELAJAR.
Organisasi dan individu yang mampu belajar
dengan cepat dan sungguh-sungguh akan menjadi organisasi dan individu yang
paling berhasil di masa datang. Pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat
ini tidak lagi bisa diharapkan membawa keberhasilan pada tahun-tahun mendatang.
Dugaan ini akan berakibat dengan banyaknya pengangguran dan berbagai
kekecewaan. Apalagi dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan yang begitu
cepat.
Organisasi yang mampu
belajar menjadikan organisasi sebagai system yang hidup. Setiap bagian
dihubungkan pada setiap bagian lainnya. Sebagai sistem yang hidup, terdapat
tuntutan kuat untuk menjaga keseimbangan. Apabila anda coba mengubah satu
bagian, bagian lain dari sistem tersebut akan melakukan upaya bersama untuk
mengubah status quo. Sekali perubahan terjadi akan mempengaruhi sistem
lainnya. Berpikir sistematik memungkinkan organisasi berfokus pada
perubahan sistem.
Menurut Peter Senge dalam
bukunya The Fifth Discipline mengatakan bahwa belajar sama sekali tidak lagi
sama dengan memperoleh pengetahuan, akan tetapi perilaku anda akan berubah
apabila anda belajar. Dengan belajar serius kita dapat mengetahui secara
baik apa yang kita kenal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui belajar
kita membangun kembali diri sendiri. Melalui belajar kita menjadi mampu
melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui belajar
kita merasakan kembali dunia dan adanya hubungan diri sendiri dengan dunia.
Melalui belajar kita memperluas kemampuan kita untuk mencipta, dan menjadi
bagian dari proses pembangkitan kehidupan. Dalam diri setiap manusia terdapat
rasa keinginan kuat untuk belajar. Dengan pendapat ini, maka beliau menyarankan
agar hidup itu menerapkan triple L (Live Long Learning) atau MARSIKKOLA
SAPPE MATUA atau BELAJAR SEPANJANG HIDUP.
Selain itu, organisasi yang berhasil membangun
budaya belajar di lingkungannya, dapat membandingkan investasi yang
dilakukan antara metode pembelajaran (learning method) dibandingkan dengan
metode management (managements method) tools lainnya dalam perspektif
manfaat yang akan diperoleh dengan risiko yang mungkin akan timbul.
Investasi yang dibutuhkan dengan menggunakan learning method cukup hanya kemauan,
waktu, dan uang sedikit (relatif kecil apabila menggunakan management
tools).
Organisasi
Yang Mampu Belajar
Organisasi yang mampu
belajar adalah organisasi yang mengutamakan pembelajaran. Pembelajaran
adalah suatu proses sekaligus suatu nilai. Idealnya, setiap karyawan
harus memiliki komitmen untuk terus memperbaiki diri melalui belajar.
Dengan mempelajari hakikat pembelajaran, organisasi secara keseluruhan dituntut
untuk selalu memperbaiki semua aspek dirinya baik produk maupun jasa.
Ketika karyawan dan organisasi berkembang, karyawan akan merasakan suatu
hubungan yang diperbaharui terhadap pekerjaan mereka, pelanggan akan terlayani
dengan lebih baik dan organisasipun akan memiliki masa depan yang lebih baik
pula.
LO
PADA ERA PERUBAHAN
Berdasarkan uraian
diatas, kita dapat melihat peluang yang besar yang diciptakan oleh sinergi dua
unsur penting yaitu unsur Learning Organisation (LO) dengan unsur Perubahan. Daripada
harus melakukan restrukturisasi organisasi (yang belum tentu dilakukan sesuai
proses yang benar) dimana resiko yang ditimbulkan juga cukup tinggi (miss
organization, miss management tools, dll.), sedangkan di sisi lain ada metode
murah dan efektif yang dapat dilakukan, hanya dengan membangun sistem
pembelajaran, dan luangkan waktu secara teratur dilakukan pembelajaran bersama
didalam organisasi, maka sebesar apapun perubahan, secepat apapun perubahan itu
terjadi, semuanya itu dapat dibedah didalam proses pembelajaran secara bersama
(mulai dari top level management sampai manajemen tingkat paling bawah). Berbagai
metode pembelajaran dapat diujicobakan untuk menemukan metode yang tepat.
'A learning
organization is an organization that facilitates the learning of all its
members and continuously transforms itself to achieve superior competitive
performance.'
Untuk kriteria ke-6,
“Creating a learning organization” (Menciptakan suatu organisasi pembelajar), Unilever
sejak 2001 menyelenggarakan program Learning Award. Tujuannya adalah
mendorong terciptanya budaya belajar, khususnya dimulai dengan menstimulasi
karyawan untuk mau berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan mereka.
Learning Award adalah program
pemberian poin untuk setiap karyawan yang menyempatkan waktu berbagi
pengetahuan dan pengalaman kepada rekan-rekan kerja mereka (termasuk K-Club,
Book Club). Poin yang dikumpulkan mempunyai nilai tertentu yang dapat
ditukarkan dengan penghargaan dari perusahaan (tidak berbentuk uang), entah
dalam bentuk voucher ataupun lainnya. Pengumpul nilai terbanyak dalam setahun
akan memperoleh award berupa hadiah kunjungan ke luar negeri. Hadiah kunjungan
ke luar negeri juga diberikan kepada pengumpul poin tertinggi kedua dan ketiga.
Learning Award
diselenggarakan Unilever bukan untuk memberi hadiah semata-mata, melainkan
untuk menghidupkan budaya berbagi pengetahuan dan memanfaatkan apa yang
dipelajari untuk pekerjaan. Terbukti kemudian semangat belajar dan
berbagi telah berjalan di Unilever, baik di kantor pusat maupun di
pabrik-pabrik. Jika pada 2001 karyawan yang mau berbagi masih berjumlah 30
orang, maka tahun ini telah meningkat menjadi 260 orang.
Aktivitas untuk belajar
dan berbagi telah dimulai Unilever dengan kegiatan Sharing of Learning and
Results (SOLAR) mereka. Kegiatan ini dimulai sejak 1998. Diselenggarakan
setiap Jumat sore, acara ini mengundang orang dalam perusahaan atau eksternal
untuk berbagi baik dalam topik umum seperti tentang kehidupan,
nilai-nilai kehidupan, atau yang langsung berkaitan dengan pekerjaan, ataupun
berbagi tentang best practices.
Dari semua kegiatan
karyawan dalam belajar dan berbagi itu, Unilever menikmati hasil, di antaranya,
berupa penghematan dalam anggaran biaya pelatihan yang cukup signifikan.
Mereka telah sukses menghidupkan budaya dan proses berbagi pengetahuan dan
menggunakan pengetahuan itu untuk pekerjaan mereka dalam suasana yang
menyenangkan (bukan semata-mata melalui pelatihan di kelas) dan dengan hasil
yang memuaskan bagi perusahaan.
Unilever sukses dengan
budaya knowledge sharing-nya. Apa yang dilakukannya tidaklah mengandalkan
teknologi informasi semata. Ada
contoh di pabrik mereka tentang bagaimana seorang supervisor mentransfer
pengalaman menangani sebuah mesin menjadi sebuah tulisan yang disimpan dalam
perpustakaan dan dapat diakses oleh siapa saja di pabrik. Tulisan itu
melengkapi buku manual mesin yang sudah disiapkan pabriknya di luar negeri.
Apa yang dilakukan
Unilever itu amat sejalan dengan perkataan Robert H. Buckman dalam
bukunya, Building a Knowledge-Driven Organization. Ia berkata, “Organisasi meningkatkan pengetahuan melalui
jaringan orang-orang yang berkolaborasi—bukan melalui jaringan teknologi yang
saling tersambung (interconnected). Meski semua media memberitakan atau
mengulas jaringan kelompok (groupware) dan “ketersambungan (interconnectivity)
dasawarsa 90-an”, teknologi komputer bukanlah inti cerita. Kuburan teknologi
informasi (TI) penuh dengan perusahaan yang mengikut para CIO (chief
information officer) yang visioner dan beranggaran besar untuk masuk pada
investasi di client-server ini atau client-server itu, atau menerapkan sistem
e-mail baru, hanya untuk menyadari belakangan bahwa orang-orang masih tidak
sudi berkolaborasi dalam berbagi pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan
baru. Ketersambungan bermula dari orang-orang yang ingin berhubungan.
Jika itu terjadi, barulah alat dan teknologi memfasilitasi hubungan.
Robert H. Buckman sukses
memimpin Buckman Laboratories sehingga mendapat berbagai penghargaan,
termasuk sebagai Most Admired Knowledge Enterprise
(MAKE) tingkat dunia setiap tahun pada rentang waktu 1998—2004.
Selamat bagi
Unilever Indonesia sebagai
pemenang MAKE Asia 2005, semoga keberhasilan ini menularkan semangat membangun
organisasi berbasis pengetahuan di Indonesia
dan menumbuhkan minat lebih banyak organisasi di Indonesia
untuk ikut berpartisipasi dalam MAKE Indonesia tahun 2006
Strategi organisasi usaha
layanan yang dilakukan bukan hanya dengan menerapkan Total Quality Management
(TQM), melainkan juga dengan menanamkan paradigma pembelajaran organisasi
(learning organization), akan sangat mendukung keberhasilan service culture.
Learning organization bukan hanya bersifat adaptif terhadap perubahan
seperti paradigma Total Quality Management, melainkan juga bersifat proaktif
untuk mengantisipasi perubahan di masa depan. Hal ini akan tercermin dalam
manajemen sumber daya manusia. Misalnya dalam proses seleksi, harus dipilih
karyawan yang memiliki kemauan kuat untuk belajar. Untuk melakukan seleksi ini,
perlu diadakan analisis atribut personal (personal attributes analysis) dengan
mengidentifikasi sikap dan kompetensi yang dibutuhkan serta memperjelas hal
mana yang harus sudah ada pada diri orang tersebut atau hal mana yang dapat
dikembangkan melalui pelatihan. Selain itu, pelatihan yang dilakukan bukan
hanya pelatihan yang berorientasi masa kini melainkan juga pengembangan para karyawannya
yang berorientasi ke masa depan, dan sebagainya.
Mengembangkan Kepemimpinan
(Management Requirements)
Untuk layanan yang baik
akan berusaha memiliki dan memelihara kepemimpinan layanan (service
leadership). Untuk membangun hal tersebut, perlu dilaksanakan hal-hal berikut
ini :
Encourage Leadership
learning atau usaha menggiatkan organisasi untuk
belajar, yang dilakukan dengan cara menanamkan budaya learning organization
yang diimplementasikan dalam kegiatan manajemen sumber daya manusianya.
Mempromosikan orang
tepat. Misalnya dalam aspek perencanaan karier,
promotion form within menuntut persyaratan kualifikasi tingkat pendidikan
minimal, prestasi kerja, dan lamanya bekerja.
Menekankan
keterlibatan personal. Semua karyawan harus
memiliki nilai, sikap, dan perilaku yang menghayati faktor critical the moment
of truth atau berorientasi pada kepuasan pelanggan. Komunikasi dua arah harus
berjalan lancar.
Menekankan kepercayaan
pada seluruh karyawan. Contohnya adalah melakukan
pengembangan karier untuk meningkatkan motivasi dengan melakukan job enrichment
atau empowerment.
Mengembangkan Service
Training Programs (Knowledge and Attitude
Requirements)
Program pelatihan
terhadap keahlian, pengetahuan, dan sikap karyawan dibutuhkan untuk mencapai
kualitas pelayanan yang baik. Mengacu pada konsep tekstonomi Bloom, tujuan
pelatihan harus memperhatikan tiga domain pada masing-masing orang sesuai
dengan kebutuhannnya, yaitu affective, cognitive, dan psychomotor.
Sebagai ilustrasi seorang
agen asuransi yang bertugas sebagai pemasar produk asuransi pada usaha layanan
asuransi harus memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan bidangnya, misalnya
mengerti asuransi apa yang diinginkan atau dibutuhkan konsumen dan mampu
memberikan informasi kepada konsumen yang membutuhkannya (cognitive domain). Contoh gampang yang
lainnya, seorang sopir taksi yang bertugas mengantarkan kosumen harus dapat
mengemudikan dan memperlakukan mobil dengan baik. Ini berkaitan dengan
psychomotoric domain. Sikap positif staff customer service misalnya dengan
memperlihatkan empati, mendengarkan secara aktif, dan responsif pada konsumen
pada konsumen yang dihadapi melibatkan effective domain.
Pelatihan-pelatihan untuk
mencapai seluruh tujuan di atas dapat dilakukan dengan :
On the job Training, contohnya latihan instruksi pekerjaan yaitu memberikan
petunjuk-petunjuk mengenai pekerjaan secara langsung saat bekerja untuk melatih
karyawan bagaimana melaksanakan pekerjaan mereka sekarang.
Off the job training, contohnya adalah
metode simulasi permainan peran (role playing). Ini dimaksudkan agar karyawan
melatih sikap dan perilaku dalam menghadapi pelanggan dan melatih keahlian
berkomunikasi yang baik. Selain itu presentasi video pun dapat dilakukan untuk
melengkapi bentuk pelatihan role playing. Karyawan sebaiknya diperlengkapi
dengan rekaman video dan buku pegangan yang berisi cara-cara efektif dalam
melayani pelanggan sehingga karyawan dapat mempelajarinya sendiri bila
membutuhkannya.
Dalam pemasaran internal,
motivasi kerja yang tinggi sangat dibutuhkan. Untuk merealisasikannya dapat
dilakukan melalui berbagai cara yang menyentuh setiap aspek manajemen sumber
daya manusia. Sebagai contoh, kita ambil acuan salah satu teori motivasi
kontemporer yang diajukan oleh David Mc Clelland yang dikenal dengan sebutan
Three Needs Theory atau teori tiga
kebutuhan yang terdiri dari need for affiliation, need for power, need for
achievement.
Program
orientasi dilaksanakan untuk memperkenalkan karyawan baru terhadap lingkungan
kerjanya dan memberikannya kesempatan untuk bersosialisasi satu sama lain.
dengan demikian, diharapkan karyawan tersebut dapat memahami budaya perusahaan
dan memenuhi need for affiliation. Pelatihan dan pengembangan (yang antara lain
bertujuan untuk meningkatkan kualitas karyawan, mencegah keusangan karyawan,
dan meningkatkan motivasi kerjanya), penilaian prestasi kerja, perencanaan
karier yang berlaku di perusahaan termasuk dalam kategori need for achievement.
Selain itu, perencanaan karier dan penempatan, misalnya promosi, job enrichment
atau empowerment, masuk dalam kategori need for achievement. Contohnya adalah
tercapainya standar gaji / upah tertentu yang cukup kompetitif atau menarik di
bandingkan dengan pesaingnya. Need for affiliation contohnya adalah kawan
sekerja yang menyenangkan, atasan yang bijaksana. Need for power, misalnya
bawahan yang menyenangkan dan dapat dikelola untuk bekerja sama.
Mengulang kesuksesan
tahun lalu, PT. Wijaya Karya (WIKA) kembali meraih 5 penghargaan dari 17
kategori yang diperebutkan dalam ajang penghargaan BUMN & CEO BUMN Award
2006, yang diselenggarakan oleh Majalah Business Review dan didukung oleh
Kementrian Negara BUMN serta dewan juri yang berasal dari praktisi dan
professional yang kompeten di bidangnya.
WIKA meraih predikat BUMN
of The Year 2006, CEO of The Year 2006, The Best in Construction, Industrial
Estate & Various Industry Sector, The Best Human Resources dan The Best
Operation pada acara penyerahan penghargaan tersebut, Jum�at (25/8) di Flores Ballroom, Hotel Borobudur � Jakarta.
Dalam proses penjurian 7
Agustus 2006 yang lalu di Hotel Shangrila-Jakarta, dihadapan dewan juri,
jajaran Direksi WIKA menjelaskan tentang kinerja dan proses bisnis yang saat
ini dilaksanakan dan dikembangkan WIKA, sejalan dengan VISI dan MISI WIKA 2010
untuk menjadi terkemuka di Asia Tenggara di bidang Konstruksi dan Engineering.
Penjabaran VISI dan MISI WIKA 2010 ini dituangkan dalam WIKA STAR MODEL yang
diukur secara sistimatis dengan menerapkan Malcolm Baldrige Criteria for
Performance Excellence (MBCfPE).
Keunggulan sistem
pengembangan SDM yang berbeda, adalah setiap SDM WIKA dikembangkan berdasar
dari keunggulan talenta yang dimilikinya, hal itu juga didukung dengan
penerapan metode NLP (Neuro Linguistic Programming) dengan melalui metode
experimental learning, dimana insan WIKA di dorong untuk memunculkan
kemampuan terbaiknya dalam memberikan kontribusi kepada perusahaan. Program-program
yang dilaksanakan antara lain program Corporate Awareness untuk tingkatan
staf, program Corporate Care ditingkat manajer dan Breakthrough Leadership
Program untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin WIKA.
Disamping itu dengan
didasarkan pada keyakinan bahwa �Hanya yang unggul yang akan tumbuh� seluruh SDM WIKA didorong untuk selalu ber
inovasi, menghasilkan sesuatu yang beda dengan mutu yang lebih baik untuk
menciptakan keunggulan kompetitif. Semua kegiatan ini dimanajemeni dengan menerapkan
Knowledge Management System (KMS), dan sejak tahun 2005 WIKA telah
mencanangkan diri sebagai organisasi pembelajar (Learning Organization).
Atas program yang dilaksanakan ini, WIKA telah memperoleh penghargaan The
Most Admire Knowledge Enterprise
(MAKE) 2006 dari Dunamis Organization Service.
Dalam pengukuran kinerja,
WIKA telah menerapkan sistem pengukuran dengan Balanced Scorecard, yang
disebut WIKA Scorecard dimana sistem pengukurannya dilaksanakan secara
berjenjang melalui Project Scorecard, Division Scorecard dan Corporate
Scorecard. Pengukuran kinerja tersebut, selanjutnya disempurnakan lagi untuk
mengukur standar kinerja ekselen dengan menerapkan Malcolm Baldrige Criteria
for Performance Excellence (MBCfPE), dimana dalam ajang penghargaan
Indonesia Quality Award (IQA) 2005 yang diselenggarakan oleh BUMN Executive
Club (BEC) dengan dukungan dari Kementrian Negara BUMN, WIKA meraih predikat
sebagai salah satu yang terbaik, yaitu masuk dalam kategori Good Performance .
WIKA berharap
pada tahun 2007 sesuai dengan srategi jangka panjang, telah memiliki pangsa
pasar di Asia Tenggara dan menjadi perusahaan yang unggul dalam memenangkan
kompetisi usaha baik di lingkup nasional maupun regional. WIKA akan terus maju
dalam peningkatan kualitas kinerja dan semakin dikenal melalui penerapan
nilai-nilai WIKA yang bersifat best practice dan penerapan etika bisnis (Good
Governance) yang makin baik.
SELAMAT
MELAKUKAN UJI COBA LEARNING ORGANIZATION.
0 komentar:
Posting Komentar