BAB I
PENDAHULUAN
Rita (48), salah satu wanita keturunan China
Benteng di daerah Kampung Belakang, Jakarta Barat, sehari-hari mengandalkan
hidup dari jasa mengurut. Tetapisaat itu dia bersama rekannya rela meninggalkan
pekerjaan karena ingin menyaksikan pengesahan Rancangan Undang-Undang
Kewarganegaraan baru.
Kelompok perempuan yang tergabung dalam
Keluarga Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu (KCP Melati) juga datang
memenuhi balkon Ruang Paripurna DPR. Begitu Wakil Ketua DPR Soetardjo
Soerjogoeritno mengetuk palu sebagai tanda persetujuan Rancangan Undang-Undang
(RUU) Kewarganegaraan ini ditetapkan menjadi undang-undang (UU), mereka pun
spontan berpelukan dan menangis haru. Bendera Merah Putih kecil yang dibawanya
langsung diacungkan dan dikibar-kibarkan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun
disenandungkan.
Peristiwa diatas hanyalah secuil kisah nyata yang
terjadi setelah disetujuinya UU Kewarganegaraan Indonesia yang selama ini
dianggap cukup merepotkan dan sedikit “bermasalah”.
Menurut UU No.62/1958 yang menganut asas Ius Sanguinis
(kewarganegaraan mengambil garis darah ayah), anak yang dilahirkan dari
perkawinan antara wanita WNI dengan pria WNA, otomatis mengikuti
kewarganegaraan ayahnya.
Sebagai contoh di Inggris, yang sudah berstatus permanent resident (PR)
banyak WNI yang tidak sadar bahwa anak mereka yang lahir setelah status PR
keluar, menurut UU Kewarganegaraan Inggris otomatis si anak menjadi WN Inggris.
Dan menurut UU Inggris itu, si anak baru bisa pindah kewarganegaraan lain
setelah usia 18 tahun.
Kerepotan ini terjadi ketika kedua orang tua anak
tersebut (berencana) meninggalkan Inggris sebelum anak berusia 18 tahun.
Selain itu, sungguh ironi. Betapa memilukan, ketika orang sudah
bertahun-tahun lahir dan hidup di negeri ini, tetapi secara hukum dinyatakan
atau diolok-olok sebagai bukan orang Indonesia. Coba tanyakan bagaimana
perasaan Ivana Lie
atau Susi Susanti, Hendrawan, atau orang lain yang sudah
membela merah putih di dunia internasional, pernah mentok dan dinyatakan secara
hukum sebagai bukan warga negara Indonesia karena tidak punya SBKRI?
BAB II
PEMBAHASAN
Substansi
RUU
RUU Kewarganegaraan terdiri dari 8 bab dan 46
pasal. RUU ini merupakan usul inisiatif DPR. Pembahasan bersama pemerintah
dilakukan selama empat masa sidang, mulai 24 Agustus 2005 sampai dengan 5 Juli
2006. RUU ini mengatur tentang siapa dan tata cara menjadi warga negara,
penyebab kehilangan kewarganegaraan, serta ketentuan pidana bagi yang
menghambat proses pewarganegaraan. Dalam menentukan warga negara, RUU ini berlandaskan
pada asas nondiskriminatif, yaitu tidak membedakan perlakuan atas dasar suku,
ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan jender.
Pasal 2 RUU ini, misalnya, menegaskan bahwa yang
menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
Definisi "bangsa Indonesia asli" ini tidak lagi dipandang dari
aspek etnis, tetapi didasarkan pada aspek hukum. Penjelasan Pasal 2
menyebutkan, "Yang dimaksud dengan ’bangsa Indonesia asli’ adalah
orang Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri".
Dengan aturan ini, anak WNI keturunan China, Arab,
India, atau bangsa apa pun, otomatis adalah bangsa Indonesia asli. Pendapat
akhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menegaskan bahwa definisi itu
telah menihilkan pemojokan terhadap etnis tertentu di negeri ini.
Kesetaraan jender pun terlihat dengan adanya
berbagai perubahan mendasar. Kalau peraturan kewarganegaraan sebelumnya
berorientasi supremasi pria, sekarang tidak lagi.
Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing
tidak membuat perempuan itu otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya,
terkecuali bila menurut hukum negara asal suami, kewarganegaraan istri harus
mengikuti kewarganegaraan suami. Kendati demikian, perempuan itu pun tetap bisa
mengajukan surat pernyataan tetap menjadi WNI dalam kurun waktu tiga tahun dan
menjadi sponsor utama suaminya untuk menjadi WNI. (Pasal 26).
RUU ini juga memberi perlindungan maksimal pada
anak-anak. Seorang anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dengan pria WNA,
maka anak bersangkutan tetap WNI dan bisa berstatus kewarganegaraan ganda
sampai usia 18 tahun.
Berbeda dengan UU sebelumnya, UU ini
juga mengatur proses pewarganegaraan yang transparan, yaitu dengan memberi
batas waktu proses pengurusan pewarganegaraan. Pemerintah pun diberi batas
waktu enam bulan untuk membuat berbagai peraturan pelaksanaan UU ini. Pejabat
yang dengan sengaja melanggar atau memperlambat proses pewarganegaraan pun akan
dijatuhi bukan sanksi administrasi, tapi juga sanksi pidana. (Pasal 36)
Menghindari bahwa UU ini hanya menjadi sekadar
"macan kertas", maka UU ini juga menegaskan bahwa peraturan lainnya
yang bertentangan dengan UU ini dinyatakan tidak berlaku, mulai dari UU No
62/1958 sebagaimana telah diubah dengan UU No 3/1976 hingga UU 10 Februari 1910
tentang Peraturan tentang Kekaulanegaraan Belanda bukan Belanda (Stb 1910: 296
jo 27-458), serta peraturan lain berkaitan dengan kewarganegaraan.
BAB III
KESIMPULAN
Semangat pembaruan memang sudah terlihat dari
proses pembahasan RUU ini. Berbeda dengan lainnya, Pansus sepakat mengadakan
rapat secara terbuka di setiap tingkatan. Anggota DPR dan jajarannya telah
membuka babak baru bagi seluruh warga negara di Indonesia.
Sebaliknya, setiap WNI dituntut kesetiaannya
seperti tertuang dalam sumpah/janji WNI, yaitu "Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan
asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 dan
akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang
dibebankan Negara kepada saya sebagai WNI dengan tulus dan ikhlas".
Karena itu, dengan disahkannya UU Kewarganegaraan yang baru, apresiasi
layak diberikan kepada Pansus RUU Kewarganegaraan, juga kepada Prof Eko
Sugitario, Pakar Hukum Tata Negara Ubaya dan aktivis multietnis di Surabaya,
yang sejak 2002 terus menggodok dan mengupayakan legal drafting UU ini.
Spirit pasal itu amat dalam karena
keragaman yang selama ini de facto ada, secara de iure atau secara hukum diakui
keabsahannya oleh negara atau pemerintah. Dengan ini diharapkan keragaman dan
perbedaan yang selama ini ada (seperti etnis) bisa menjadi potensi positif
untuk membangun bangsa ke depan menuju bangsa besar yang menghargai keragaman
dan perbedaan. Bukan sebaliknya, perbedaan menjadi modal untuk menghancurkan
masa depan bangsa.
Belum Bisa Langsung Dipraktikkan
Meskipun UU kewarganegaraan baru telah ditetapkan
11 Juli 2006 lalu, namun UU ini baru bisa dipraktikkan paling cepat 9 bulan pasca
persetujuan. Mengapa?
Untuk implementasi sebuah Undang-Undang, masih
diperlukan peraturan pemerintah (PP) serta petunjuk pelaksana (juklak),
berikuit sanksi-sanksi hukumnya bila terjadi pelanggaran atau penyelewengan
yang dilakukan para petugas di lapangan.
Sebuah UU disahkan, setidaknya diperlukan enam
bulan untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Barulah setelah itu dirancang
lagi PP dan juklak-nya, yang paling cepat membutuhkan waktu tiga bulan. Setelah
PP dan juklak diresmikan, barulah UU Kewarganegaraan yang baru itu benar-benar
implementatif dan mengikat.
Meski begitu, pengesahan UU ini baru
merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi. Apalagi
setelah pengesahan UU ini penulis mendapat berondongan pertanyaan bagaimana
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya atau singkatnya implementasi UU ini
di lapangan. Bagaimana nasib ratusan ribu warga keturunan, seperti warga China
Benteng yang selama ini tidak memiliki KTP atau akta kelahiran tetapi sudah
bergenerasi tinggal di Indonesia? Otomatiskah mereka menjadi WNI? Bagaimana
pula mereka akan mengurus hal lain, tetapi terganjal tidak memiliki KTP atau
akta kelahiran, apa solusinya? Karena itu, sebagai follow up UU Kewarganegaraan
mendesak dibuat peraturan pemerintah sebagai implementasi UU ini. Bagaimana
praktiknya nanti? Ini adalah pekerjaan rumah bagi segenap elemen dan tiap anak
bangsa. Sebab apalah artinya sebuah payung hukum bernama UU Kewarganegaraan
yang menjamin diakhirinya diskriminasi, tetapi jika di alam nyata praktik
berbangsa dan bernegara, diskriminasi, masih bercokol di dalam hati?
Sekali lagi, pengesahan UU ini baru
langkah awal dari upaya menghapus praktik diskriminasi. Mengapa? Dengan
pengesahan UU ini, negara atau pemerintah berupaya mencabut produk hukum yang
diskriminatif yang selama ini diterapkan. Dengan kata lain, orang-orang yang
selama ini tidak termasuk kategori WNI asli, hendak dirangkul dan diakui
eksistensinya oleh negara atau pemerintah sebagai bagian sah bangsa atau negeri
ini.
Bahkan UU ini menjamin dan menegaskan para pejabat negara yang berani
melakukan praktik diskriminasi, seperti birokrat di imigrasi yang meminta
SBKRI, bisa dikenai sanksi hukum satu tahun penjara. Jelas ini membanggakan
karena selama ini oknum-oknum yang mengharuskan SBKRI itu tega berdiri di atas
penderitaan orang lain. Ratusan ribu bahkan jutaan orang sudah menjadi korban
penerapan SBKRI.
Melalui UU Kewarganegaraan yang baru disahkan,
hukum kita telah mengupayakan jaminan, siapa pun dari latar belakang etnis apa
pun bisa menjadi bagian integral bangsa ini atau menjadi warga negara Indonesia
asal dilahirkan di Indonesia dan sejak kelahirannya tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri (Pasal 2).
RUU Kewarganegaraan yang baru juga memberikan
kesempatan kepada para korban yang terpisah akibat peristiwa politik masa lalu
untuk menjadi WNI secara otomatis seperti kasus warga di Timor Timur. Para
atlet yang berprestasi juga akan langsung mendapat kewarganegaraan Indonesia.
Undang-undang tersebut juga melindungi tenaga kerja Indonesia yang ada di luar
negeri lebih dari lima tahun dengan memberikan perlakuan khusus.(AMR)
Bagian yang paling penting dari UU baru ini adalah
dianutnya asas campuran antara Ius Sanguinis dan Ius Soli
(kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan
ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang
lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun. Artinya, sampai anak
berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai
usai tersebut, plus tenggang waktu 3 tahun untuk mempersiapkannya, barulah di
anak diwajibkan memilih salah satunya.
Dan bagusnya lagi, UU Kewarganegaraan baru ini
juga berlaku bagi-anak anak yang lahir sebelum tanggal 11 Juli 2006. Artinya,
anak-anak Indonesia di luar negeri yang karena peraturan negara mereka tinggal
telah menjadi warga negara tsb bisa apply menjadi WNI dan mempunyai
kewarganegaraan ganda sampai usai 18 tahun + 3 tahun masa peralihan.
Apalah arti bahasa hukum, tidak ada
lagi pemisahan pribumi dan nonpribumi, tidak ada asli atau bukan, tetapi di
alam nyata orang suka menunjuk hidung atau berbisik menunjukkan etnis dengan
nada sinis? Karena itu setelah UU Kewarganegaraan ini disahkan, menjadi PR bagi
kita untuk bisa menerima perbedaan (seperti etnis) dengan keikhlasan dan tanpa
prasangka.
Semoga dengan diresmikannya UU ini,
ruang kebersamaan kita bukan kian menyempit, justru makin luas dan lapang,
sehingga kita bisa berbuat sesuatu yang lebih bermakna bagi bangsa daripada
harus berpolemik atau berkonflik etnis yang hanya membuang energi. Negeri ini
akan jaya jika perbedaan dan potensi tiap warganya bisa diakomodasi dan diakui.
0 komentar:
Posting Komentar