Pages

Selasa, 18 September 2007

TUGAS EVOLUSI PERKEMBANGAN MANAJEMEN : OWNERSHIP vs LEADERSHIP

1 . Apakah Manajer Juga Seorang Pemimpin?
Selama ini, kebanyakan manager berpedoman pada prinsip-prinsip manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengendalian, dan pengontrolan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Tetapi di dalam menghadapi cepatnya perubahan ekonomi dan mengatasi lingkungan bisnis yang penuh dengan persaingan dewasa ini, dengan hanya menjalankan keempat prinsip tersebut tidaklah cukup. Manajer perlu mengubah posisinya sebagai seorang manajer yang baik menjadi seorang pemimpin yang baik. Secara umum, pemimpin dan manajer tak berbeda di dalam usaha melaksanakan tugasnya. Keduanya berpedoman pada prinsip-prinsip manajemen dalam menjalankan tugasnya. Tapi ada hal yang mendasar yang membedakan pemimpin dan manajer.

Mengubah Sifat
Bennis dan Nanus, dua orang pakar manajemen, dalam bukunya Leaders, membuat perbedaan antara manajer dan pemimpin. Manajer menjalankan tugasnya dengan benar, sementara pemimpin melakukan sesuatu yang benar.
Sedangkan Stephen Covey, pengarang The 7 Habits of Highly Effective People, menggambarkan, manajer mencari cara yang paling efisien untuk mencapai tangga sukses, sedang pemimpin menentukan apakah tangga yang dinaiki berada pada tembok yang benar. Covey memberikan ilustrasi yang jelas mengenai perbedaan manajer dan pemimpin. Dalam usahanya membuat jalan menembus hutan yang lebat, seorang manajer memberi petunjuk bawahannya cara yang paling efisien menebang pohon yang ada. Sedangkan seorang pemimpin tak hanya memberi tahu bawahannya cara yang paling efisien dalam menebang pohon, tapi dia juga memanjat pohon yang tinggi untuk melihat apakah pohon-pohon yang ditebang bawahannya itu menuju arah yang benar.
Manajer dewasa ini diharapkan mengubah sifat dan kebiasaannya. Tidak saja menjalankan tugas dengan benar, melainkan juga mempunyai pandangan ke depan (vision), apakah tugas yang ada itu memang benar perlu dilaksanakan.
Dalam bukunya The Leader-Manager, William D. Hewitt, mengatakan, ada 4 tipe manajer;
1.    Tipe korban (victim),
Dinamakan tipe korban karena manajer tipe ini kurang kreatif dalam gagasan dan pelaksanaan tugasnya. Manager tipe ini takut akan perubahan dan menghabiskan banyak waktu untuk menentang. Mereka takut menjadi korban seandainya perubahan memang harus terjadi di dalam organisasinya.
2.    Tipe pemimpi (deamer),
Manager dengan tipe pemimpi mempunyai banyak gagasan, tetapi tidak tahu bagaimana mencapai gagasan tersebut. Manajer tipe ini lama kelamaan cenderung menjadi manajer yang suka berandai-andai.
3.    Tipe pelaksana (doer),
Manager dengan tipe pelaksana mempunyai sifat kurang kreatif dalam gagasan, tapi mampu melaksanakan apa yang menjadi tugasnya. Manager tipe pelaksana selalu menunggu petunjuk dan bimbingan dalam melaksanakan tugasnya.
4.    Tipe pemimpin manajer (leader-manajer)
Tipe terakhir, tipe pemimpin manager. Manager tipe ini mempunyai pandangan ke depan (visionary), banyak gagasan dan tahu bagaimana mencapainya. Manager tipe ini mampu membimbing dan mengarahkan bawahannya untuk mencapai gagasannya.
Tipe terakhir inilah yang dibutuhkan untuk mengatasi cepatnya perubahan dan lingkungan usaha yang makin bersaing. Manager yang mempunyai sifat seorang pemimpin, yang mempunyai banyak gagasan, tidak sekadar membawa organisasi ke arah yang sudah ditentukan, melainkan juga berani berinisiatif membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik dalam usaha mengatasi cepatnya perubahan ekonomi, dan persaingan bisnis yang semakin keras.

Untuk menjadi seorang pemimpin, dengan hanya mempunyai gagasan saja tidaklah cukup. Dalam usahanya membawa perubahan di dalam organisasi untuk mencapai gagasan tadi diperlukan kerja sama dengan kelompoknya. Mendapat dukungan dari kelompoknya merupakan hal yang utama pimpinan dalam mencapai sukses. Ini tidaklah mudah, terutama di jaman sekarang, di mana kita terperangkap dalam lingkaran setan.
Cepatnya perubahan ekonomi dan ketatnya persaingan, menyebabkan banyak organisasi terpaksa mengurangi tenaga kerjanya dalam usahanya untuk bertahan. Akibatnya, pegawai kurang kepercayaannya terhadap organisasi yang menyebabkan turunnya loyalitas kerja. Menurunnya loyalitas kerja menyebabkan turunnya produktivitas kerja, yang menyebabkan pada akhirnya mengakibatkan organisasi sulit bersaing.

Tidak Efektif Lagi
Untuk mengatasi hal ini, sudah menjadi tugas seorang pimpinan untuk memutuskan lingkaran setan tadi, yakni dengan mengembalikan kepercayaan bawahan dan mempersatukan mereka. Pemimpin yang baik harus berpedoman pada pepatah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, atau bersemboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk membentuk satu tim yang kuat dalam usahanya melawan keadaan yang tidak menentu di luar organisasi.
Hal utama untuk membangun kerja sama yang baik ialah menanamkan rasa saling percaya dari kedua pihak. Mengubah pandangan negatif pimpinan terhadap bawahan, dan juga pandangan negatif bawahan terhadap organisasi atau pimpinannya.
Banyak pemimpin yang masih menggunakan sistem transaksi dalam hubungannya dengan bawahan, dimana pimpinan memberikan imbalan untuk bawahan yang melaksanakan tugas yang diberikan. Sistem hubungan seperti ini sudah tidak efektif lagi. Sistem transaksi adalah sistem satu arah, di mana segala keputusan dibuat oleh pimpinan. dan tugas bawahan hanya melaksanakan tugas saja. Akibatnya, bawahan sulit untuk ikut bergairah mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi kepentingannya. Sistem lain yang lebih efektif, sistem hubungan transformasi, sistem dua arah, dimana pimpinan membicarakan gagasan yang ada, membuka diri dan mau menerima saran dari bawahan, menjadikan gagasan itu keputusan bersama, membantu mengembangkan potensi bawahan ke tingkat maksimum, dan menaruh kepercayaan dan mereka mampu mengatur tugas mereka sendiri dalam usahanya mencapai gagasan bersama.
Bawahan seperti pemimpin, ingin dipandang, mereka juga mampu mengatur diri sendiri dalam melaksanakan tugas dan merasa ingin berarti bagi organisasi. Bawahan juga ingin gagasannya didengear oleh pimpinan, ingin merasa punya andil dalam suksesnya perusahaan. Dan ini akan berhasil kalau bawahan diberikan hak untuk ikut bersuara, ikut andil dalam pengambilan keputusan.
Ini tidak berarti keputusan diambil dari bawahan, tapi bisa juga keputusan yang disetujui bawahan. Tugas pemimpin dalam sistem transformasi ialah memimpin bawahan untuk memimpin dirinya sendiri dan membantu bawahan mengembangkan potensinya.
Hal utama yang menentukan berhasilnya, hubungan pimpinan dan bawahan ialah komunikasi yang baik dari kedua belah pihak. Jika ini dilaksanakan, maka akan terbentuk satu tim yang tangguh, tim yang siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal mengancam kelompoknya.
Contoh seorang manager yang berhasil ialah almarhum Sam Walton, pendiri toko serba ada Wal-Mart, yang dalam waktu 30 tahun mampu mengembangkan Wal-Mart menjadi lebih dari 1.700 toko serba ada di Amerika Serikat. Perkembangan Wal-Mart yang seperti jamur di musim hujan in adalah merupakan hasil nyata dari jerih payah Sam Walton dalam merangkul rekan kerjanya, panggilan Sam terhadap pegawainya.
Konsep yang ditanamkan Sam Walton untuk pegawainya, mendorong mereka untuk menjadi pimpinan di bidangnya masing-masing. Mereka didorong untuk kreatif, berani mengambil inisiatif untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Sam memberikan kebebasan kepada pegawainya untuk mengambil keputusan sendiri, mencoba ide-ide baru asal tidak bertentangan dengan tujuan Wal-Mart, yakni memuaskan langganan dan menjual produknya semurah mungkin.
Manajer di setiap departemen diharapkan menganggap dan mengatur toko yang dia pimpin seperti miliknya sendiri. Mereka mendapat dukungan dan informasi yang mereka perlukan, dari laporan untung rugi perusahaan sampai inventarisasi. Selain itu hampir semuanya akan kerja ikut andil dalam saham perusahaan, dari sopir truk sampai ke CEO perusahaan. Inilah yang menyebabkan suksesnyaWal-Mart.
Prinsip yang ia tanamkan pada semua pegawainya untuk menjadi pemimpin dibidangnya masing-masing mampu membawa Wal-Mart menjadi toko serba ada terbesar di Amerika Serikat. Sam Walton tahu dan percaya akan potensi rekan kerjanya dan memberi kebebasan untuk melakukan tugasnya. Selain itu, ikut andil dalam saham perusahaan menyebabkan bawahan ikut memiliki perusahaan perusahaan, yang menyebabkan mereka termotivasi untuk bekerja keras demi suksesnya perusahaan mereka.
Kepercayaan, seseorang dapat menjadi pemimpin karena dia sudah ditakdirkan punya karisma, atau sudah ditakdirkan untuk menjadi pimpinan adalah hal yang perlu diubah. Semua orang mampu menjadi pemimpin.
Tugas manager sebagai pemimpin yang baik ialah berani mengambil gagasan untuk mengubah keadaan menuju ke arah yang lebih baik, mengkomunikasikan ke kelompoknya, membantu membangkitkan kemampuan maksimal kelompoknya, dan mempercayai bahwa mereka dapat menjadi pemimpin di bidang mereka masing-masing.

2 . Family Business

Membahas family business selalu saja menarik, karena sangat dominannya peran perusahaan keluarga ini dalam dunia bisnis. Di negara semaju AS saja, 90 persen dari 15 juta perusahaannya merupakan family business. Kalau Anda menganggap perusahaan keluarga adalah perusahaan kecil, Anda akan terkecoh. Bayangkan, sepertiga dari 500 perusahaan yang masuk dalam daftar majalah Fortune milik keluarga. Bahkan family business mampu menyumbang 40% GNP AS. Berdasarkan survai Universitas Monash, 71% family business di Australia dipegang oleh generasi pertama, generasi kedua memegang 20% dan sisanya oleh generasi berikutnya. Sedangkan dari sisi kesejahteraan, survai ini juga menunjukkan bahwa family business merupakan penopang ekonomi Australia. Apa artinya? Walaupun bisnis keluarga mempunyai peran yang besar sebagai penopang ekonomi di AS maupun Australia, keberlangsung-an bisnis keluarga merupakan tanda tanya besar.
Suksesi memang merupakan ‘penyakit’ utama bisnis keluarga. Coba tengok survai yang dilakukan oleh Gallup: Hanya 28% dari family business di AS yang benar-benar mempunyai perencanaan suksesi. Lainnya melakukan suksesnya lebih karena ‘terpaksa’ karena tidak menemukan alternatif lain. Kenyataan lain menunjukkan hanya tujuh persen family business yang mempunyai penasehat profesional.
Family business memang selalu menarik perhatian, karena selalu saja ada fakta baru untuk dibahas. Misalnya apa perbedaan antara family-owned enterprise dan  family business?
Meskipun sama-sama dimiliki oleh keluarga, family-owned enterprise bisa dijalankan baik oleh anggota keluarga maupun profesional, sementara family business dimanajemeni sebagian besar oleh anggota keluarga yang memegang posisi kunci dalam organisa
Ciri-ciri
Ciri khas bisnis ini dibandingkan bisnis lainnya terutama terletak pada kepemimpinan dan kontrol yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Kepemilikan yang signifikan oleh keluarga terjadi jika keluarga tersebut memilikinya secara keseluruhan atau sebagian besar dari bisnis, dan memegang peranan aktif dalam penyusunan strategi dan dalam operasional sehari-hari.
Mengapa perusahaan keluarga mempunyai peran dominan? Karena ciri positif yang dimiliki:
ü  Keterlibatan anggota keluarga,
ü  Komitmen yang tinggi,
ü  Saling ketergantungan yang tinggi pula.
Dibandingkan perusahaan publik, perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda dengan perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada pertimbangan jangka pendek karena terkait dengan fluktuasi saham.
Pemimpin dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka.
Memiliki nama dan produk membuat para pemimpin bisnis keluarga lebih sadar terhadap posisi mereka dalam komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi mereka.
Di dalam banyak kasus perusahaan dan produknya sangat mempengaruhi identitas anggota keluarga. Sehingga jika diasosiasikan dengan produk yang inferior atau cacat, seakan-akan merefleksikan diri mereka.
Jadi sebuah keluarga kemungkinan tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan. Jika suatu keluarga memproduksi anggur, untuk beberapa generasi anggota keluarga mempunyai kebanggaan terhadap produk mereka.
Dari sisi budaya organisasi semangat keluarga menentukan nilai, norma, dan sikap yang berlaku dalam perusahaan sementara nilai dari anggota keluarga mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan dan membantu terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen.
Dalam perusahaan keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan sebagai bagian dari keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena relatif tidak birokratif akses kepada manajemen senior lebih mudah dan pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih efektif.
Sedangkan ciri negatifnya yaitu;
û  kurangnya formalitas,
û  pemisahan yang kabur urusan personal dan bisnis,
û  kepimimpinan ganda.
û  Hubungan interpersonal yang emosional tampak menonjol.
Family business ini secara organisasional juga sering membingungkan. Dominasi oleh keluarga mengakibatkan alasan keluarga berada di atas perhitungan bisnis, sehingga melemahkan profesionalisme.
Alasan ini pula yang menyebabkan toleransi kepada anggota keluarga yang tidak kompeten, yang dapat melemahkan sendi-sendi kompetensi perusahaan. Sistem reward yang tidak berimbang, juga mempersulit merekrut manajemen yang profesional.
Struktur family business seperti apa yang sebaiknya dipilih? Sole proprietorship, general partnership, limited partnership, atau corporation? Secara baku tidak ada bentuk terbaik, karena kebutuhan setiap perusahaan bersifat khas.
Sehingga untuk memilih jenis struktur yang.akan diterapkan harus disesuaikan terlebih dahulu antara sasaran bisnis dan tipe struktur bisnis.
Jika bisnis yang digeluti berisiko tinggi, akan lebih penting untuk membatasi liabilitasnya. Selain itu bagaimana peluang mendapatkan modal dan derajat fleksibilitas pergantian bentuk juga perlu dipertimbangkan.
Kasus konflik keluarga Nyonya Meneer menyadarkan kita bahwa perusahaan keluarga memang rapuh. Rapuh tak hanya oleh hempasan perubahan lingkungan bisnis eksternal, tetapi lebih-lebih oleh konflik dan perpecahan dalam tubuh organisasi perusahaan. Oleh karena kenyataan ini, tak heran kalau sampai ada ungkapan Cina lama yang mengatakan bahwa, dalam sebuah perusahaan keluarga, tugas dari generasi pertama adalah mendirikan perusahaan, generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga menghancurkan.

Handicap
             Tidak seperti perusahaan pada umumnya, perusahaan keluarga memang memiliki beberapa “handicap struktural” yang membuat pengelolaannya menjadi lebih pelik. Pertama, seperti kasus Nyonya Meneer, tingginya potensi konflik kepentingan antaranggota keluarga. Konflik antaranggota keluarga ini sering menyebabkan tingginya corporate politic dalam perusahaan, yang ujung-ujungnya berdampak tidak fokusnya perusahaan untuk membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan, dan mengalokasi sumber daya.
             Kedua, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi perusahaan keluarga, karena ia secara langsung menentukan sustainability perusahaan dalam jangka panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perusahaan keluarga umumnya tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan suksesi ini, sehingga masalah ini umumnya tak terkelola dengan baik. Salah-urus dalam pengelolaan suksesi ini sering kali berakibat fatal, berupa ambruknya dinasti perusahaan keluarga tersebut. 
             Ketiga, perusahaan keluarga umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi karena dominannya peran para perintis dan founding father. Implikasinya, perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu, baik berupa strategi, sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit dilakukan, bahkan dianggap tabu oleh generasi penerusnya. Change capacity yang rendah inilah yang menjadi biang mengapa tingkat sustainability perusahaan keluarga umumnya juga rendah.
            Survei yang dilakukan di seluruh dunia (Lansberg, 1999) menunjukkan rendahnya “survival rate” dari perusahaan keluarga. Hanya 30% perusahaan keluarga di seluruh dunia yang mampu bertahan sampai generasi kedua. Faktor utama rendahnya survival rate ini terletak pada rendahnya change capacity dan lemahnya perencanaan suksesi dari kebanyakan perusahaan keluarga.
 Tiga Area
             Kalau Anda membaca secara jeli perjalanan transformasi Nyonya Meneer, pasti Anda akan menemukan bahwa pengelolaan sebuah perusahaan keluarga tidak bisa hanya menggunakan pendekatan teknis bisnis: perombakan strategi, restrukturisasi organisasi, pembaruan budaya perusahaan, penajaman visi-misi, penerapan tool-tool manajemen macam Balanced Scorecard atau Six Sigma. Untuk sukses menjalankan perusahaan keluarga, setidaknya ada tiga area yang harus dikelola secara serasi-seimbang.  Tiga area itu adalah pengelolaan bisnis (business management), pengelolaan keluarga (family management), dan pengelolaan kepemilikan (ownership management). Ketiganya saling terkait, sehingga keberhasilan satu aspek pengelolaan, tanpa ditunjang oleh aspek yang lain, tak akan mampu menjamin sustainability perusahaan keluarga dalam jangka panjang.
             Pertama, menyangkut pengelolaan teknis bisnis perusahaan: menjalankan strategi, mengimplementasi visi-misi, membangun desain organisasi, dan sebagainya. Area ini generik sifatnya. Artinya, kita akan menemuinya pada jenis perusahaan apa pun, apakah itu perusahaan keluarga atau bukan. Aspek ini penting, tetapi, seperti saya katakan di depan, menjadi loyo begitu dua aspek yang lain terabaikan.
             Kedua, menyangkut tetek bengek pengelolaan keluarga yang, dalam hal ini,  merupakan salah satu stakeholder utama perusahaan mengingat posisinya sebagai pemilik. Berbagai isu yang menyangkut pengelolaan keluarga ini sangat beragam dan luas cakupannya, seperti pembagian “kekuasaan” di antara anggota keluarga pemilik, penentuan anggota keluarga yang akan duduk di dalam manajemen,  membangun trust dan family bond, mengelola berbagai kepentingan yang bermain di antara keluarga yang terlibat di dalam perusahaan, menentukan garis besar kebijakan keluarga, menyatukan visi keluarga, mengelola konflik antarkeluarga, dan perencanaan suksesi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
             Adapun yang ketiga menyangkut pengelolaan kepemilikan saham perusahaan. Isu yang terkait dengan kepemilikan ini pun memiliki cakupan yang amat luas dan sangat strategik bagi masa depan perusahaan. Isu tersebut mencakup, di antaranya, perumusan struktur dan distribusi kepemilikan antarkeluarga yang terlibat, kapitalisasi modal, mekanisme kontrol keluarga di dalam perusahaan, kebijakan untuk menarik modal dari luar keluarga, atau mempertahankan dominasi kepemilikan keluarga.
             Melihat berbagai tantangan di atas, dapat mengakibatkan kita berpikir betapa rumitnya mengelola entitas bisnis bernama perusahaan keluarga. Kembali ke kasus Nyonya Meneer, Pak Charles sangat hebat, mampu survive dan sukses selama sekitar 30 tahun mengelola tiga pilar manajemen keluarga—manajemen bisnis, manajemen keluarga, dan manajemen kepemilikan—secara seimbang dan harmonis di tengah gelombang tantangan yang demikian hebat. Dalam kondisi sarat konflik seperti itu, tak gampang menjadi “hero” di sebuah perusahaan keluarga.




3 . Pemisahan Peran Antar Pemegang Saham
Dengan adanya pemisahan peran antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajer sebagai agennya, maka manajer pada akhirnya akan memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam hal bagaimana mereka mengalokasikan dana investor (Jensen & Meckling, 1976; Shleifer & Vishny, 1997). Selain itu Mizruchi (1983) juga menjelaskan bahwa dewan merupakan pusat dari pengendalian dalam perusahaan, dan dewan ini merupakan penanggung jawab utama dalam tingkat kesehatan dan keberhasilan perusahaan secara jangka panjang (Louden, 1982).
Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham.
Pentingnya dewan (baik dewan direksi maupun dewan komisaris) tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan baru, berapa banyak dewan yang dibutuhkan perusahaan? Apakah dengan semakin banyak dewan berarti perusahaan dapat meminimilisasi permasalahan agensi antara pemegang saham dengan direksi? Jumlah dewan yang besar menguntungkan perusahaan dari sudut pandang resources dependence (Alexander, Fernell, Halporn, 1993; Goodstein, Gautarn, Boeker, 1994; Mintzberg, 1983). Maksud dari pandangan resources dependence adalah bahwa perusahaan akan tergantung dengan dewannya untuk dapat mengelola sumber dayanya secara lebih baik. Pfeffer & Salancik (1978) juga menjelaskan bahwa semakin besar kebutuhan akan hubungan eksternal yang semakin efektif, maka kebutuhan akan dewan dalam jumlah yang besar akan semakin tinggi. Sedangkan kerugian dari jumlah dewan yang besar berkaitan dengan dua hal, yaitu: meningkatnya permasalahan dalam hal komunikasi dan koordinasi dengan semakin meningkatnya jumlah dewan dan turunnya kemampuan dewan untuk mengendalikan manajemen, sehingga menimbulkan permasalahan agensi yang muncul dari pemisahan antara manajemen dan kontrol (Jensen, 1993; Yermack, 1996).
Corporate Governance (CG) merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan (Monks & Minow, 2001). Isu mengenai CG ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia, setelah Indonesia mengalami masa krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Banyak pihak yang mengatakan lamanya proses perbaikan di Indonesia disebabkan oleh sangat lemahnya CG yang diterapkan dalam perusahaan di Indonesia. Sejak saat itu, baik pemerintah maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktek CG.
Porter (1991) menyatakan bahwa alasan mengapa perusahaan sukses atau gagal mungkin lebih disebabkan oleh strategi yang diterapkan oleh perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh karakteristik stategis dan manajerial perusahaan tersebut. Strategi tersebut diantaranya juga mencakup strategi penerapan sistem Good Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan. Struktur GCG dalam suatu perusahaan bisa jadi dapat menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan.
Kemungkinan suatu perusahaan berada pada posisi tekanan keuangan banyak dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan tersebut. Struktur kepemilikan tersebut menjelaskan komitmen dari pemiliknya untuk menyelamatkan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Classens et al. (1996) mengenai struktur kepemilikan di Republik Ceko menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan akan lebih tinggi apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh lembaga keuangan yang disponsori oleh bank. Hal ini menjelaskan bahwa bank, sebagai pemilik perusahaan, akan menjalankan fungsi monitoringnya dengan lebih baik dan investor percaya bahwa bank tidak akan melakukan ekspropriasi atas aset perusahaan. Selain itu, apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh perbankan maka apabila perusahaan tersebut menghadapi masalah keuangan maka perusahaan akan lebih mudah mendapatkan suntikan dana dari bank tersebut. Classens et al. (1999) menyatakan bahwa kepemilikan oleh bank akan menurunkan kemungkinan perusahaan mengalami kebangrutan. Namun, apabila struktur kepemilikan perusahaan dimiliki oleh dewan direksi atau dewan komisarisnya maka dewan tersebut justru akan cenderung melakukan tindakan-tindakan ekspropriasi yang menguntungkannya secara pribadi.
 Oleh karena itu dengan kepemilikan perusahaaan dimiliki oleh direksi semakin meningkat maka keputusan yang diambil oleh direksi akan lebih cenderung untuk menguntungkan dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan sehingga kemungkinan nilai perusahaan akan cenderung mengalami penurunan.

4 . Mekanisme Corporate Goverance dalam Pperusahaan yang Memiliki Masalah Keuangan  (FINANCIALLY DISTRESSED FIRMS)
Dari 24 juta perusahaan keluarga di Amerika Serikat, 55% perusahaan yang CEO-nya berusia lebih dari 61 tahun dan diharapkan untuk pensiun, dalam lima tahun terakhir belum memilih seorang penerus (The Mass Mutual Financial Group, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Dari hasil survei The Jakarta Consulting Group, perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia ternyata belum semuanya mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi untuk memimpin perusahaan. Responden yang telah mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi sebanyak 67,8% sedangkan yang lain (32,2%) tidak atau belum mempersiapkannya.
Hasil survei juga menunjukkan, penerus perusahaan keluarga diutamakan satu anak kandung (45%) atau beberapa anak kandung (31%). Kriteria lain adalah anggota keluarga yang kompeten (8%), anggota keluarga pemegang saham (7%), anggota keluarga lain (3%), non-anggota keluarga profesional (2%), sesuai keputusan pemegang saham (2%), dan yang lainnya (2%) belum memikirkan bahkan merencanakan suksesi.
Bagaimana mereka menyiapkan suksesi? Sebanyak 40% responden menyekolahkan calon penerus hingga ke jenjang S1 atau S2, 34% mulai melibatkan calon penerus dalam aktivitas perusahaan, 12% mengikutsertakan dalam job training di perusahaan. Persiapan lainnya adalah dengan mengikutkan mereka dalam internship (magang) di perusahaan lain dan informal training (masing-masing 6%), dan ada yang hanya berdasarkan dukungan senior (1%) dan kharisma/kompetensi yang bersangkutan (1%).
Suksesi senantiasa terkait dengan pergantian antar generasi atau multigenerasi. Isu-isu multigenerasi yang muncul bermacam-macam. Salah satunya adalah tidak adanya keinginan generasi lama untuk berbagi kekuasaan dengan generasi penerus.
Isu lainnya adalah generasi penerus perusahaan tidak bermotivasi tinggi untuk meningkatkan perusahaan, tetapi mereka menikmati hidup dan hanya bekerja untuk menyenangkan big boss saja. Generasi penerus ini tidak menerima dukungan yang cukup dari pemilik atau seniornya sehingga keputusan-keputusan yang mereka buat merupakan second class decision saja dan kewenangan mereka dalam perusahaan tidak signifikan. Salah satu isu yang serius dalam perusahaan keluarga adalah kepemimpinan karbitan. Artinya terlalu cepat mengambil alih kepemimpinan tanpa didukung pengalaman lapangan (jam terbang) yang cukup. Oleh karena itu perlu disadari bahwa regenerasi ini membutuhkan waktu dan harus direncanakan.
Perencanaan Suksesi
Perencanaan suksesi merupakan sesuatu yang pelik dan membuat pendiri enggan untuk melakukannya. Keengganan tersebut bisa saja karena kekhawatiran akan matinya perusahaan, keengganan untuk menyerahkan kendali atas perusahaan, ketakutan akan hilangnya identitas diri, atau bahkan perasaan cemburu atau rivalry terhadap penerusnya. Alasan lain tidak dipersiapkannya suksesi adalah pendiri merasa generasi muda tidak tertarik untuk berpartisipasi di perusahaan, atau sulit untuk menentukan anak mana yang berkompeten untuk meneruskan bisnisnya. Sementara si anak merasa memiliki beban untuk memajukan perusahaan sebagaimana orang tuanya dengan kemampuan yang dia miliki atau beban untuk mempersatukan anggota keluarga bila terjadi konflik internal.
Berbicara tentang suksesi dalam perusahaan keluarga, semangat dan tongkat estafet memang diturunkan ke generasi berikutnya. Mengapa ini penting? Pertama, karena kontinuitas penting sekali disiapkan agar tidak terjadi Prince Charles Syndrome. Pangeran Charles yang sudah berusia 50 tahun masih tetap sebagai putera mahkota, dan kita tidak tahu kapan dia akan menjadi raja. Sedangkan ibunya, Ratu Elizabeth, sudah berumur 70 tahun dan belum ada tanda-tanda turun dari tahta. Kalau, misalnya, ibunya meninggal pada usia 100 tahun, apakah Pangeran Charles harus menunggu tiga puluh tahun lagi untuk menjadi raja? Kedua, kalau generasi pertama pensiun atau menghadap Tuhan, perusahaan diharapkan tetap bagus dan berjalan lancar. Alasan ketiga adalah untuk menjaga harmoni keluarga.
Apabila benar-benar sudah waktunya bagi anak-anak untuk memegang peran utama dalam perusahaan, sebaiknya pendiri atau pemilik mulai menulis buku untuk berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Bisa juga dengan mendirikan yayasan dan mengajar dan tidak berkutat dengan perusahaan lagi sehingga anak-anak atau putera-puteri mahkotanya tidak mengalami Prince Charles Syndrome di atas.
Sindrom tadi jangan sampai terjadi di perusahaan keluarga. Kalau anak-anak sudah siap dan mampu menjalankan perusahaan, maka orang tua harus mau meninggalkan perusahaan. Kalau tidak, bisnis akan menjadi stagnan, tidak bisa meledak. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana caranya agar generasi kedua dan ketiga bisa meneruskan perusahaan keluarga dan peralihan tongkat estafet berjalan mulus.
Dalam membahas perencanaan suksesi, perlu dibicarakan pula dukungan kepemimpinan dan proses perencanaan suksesi. Ward menyebutkan bahwa 40% dari seluruh perusahaan di dunia mengantisipasi atau sedang menghadapi proses suksesi saat ini, yaitu pelimpahan bisnis dari generasi senior yang sedang menguasai bisnis ke kepemimpinan dan kepemilikan generasi berikutnya. Dalam sejarah, sekitar 50% perusahaan keluarga gagal melimpahkannya ke generasi berikutnya.
Masih menurut Ward, sekitar 25 tahun yang lalu, hanya 5-10% perusahaan keluarga di Amerika Serikat yang dimiliki dan dijalankan oleh tim dari saudara-saudara sekandung. Sisanya dipimpin oleh pemimpin-pemimpin tunggal, terutama laki-laki. Dewasa ini, 40-50% perusahaan keluarga di Amerika Serikat akan dimiliki dan dipimpin oleh kelompok-kelompok kakak beradik.
Rencana suksesi yang efektif dalam perusahaan keluarga antara lain merencanakannya sedini mungkin dengan melibatkan anggota keluarga. Founder harus mulai mengambil dua langkah ke belakang (to take two steps back) agar generasi penerus dan profesional baru bisa mengambil satu langkah ke depan. Founder dianggap sebagai tokoh yang wibawanya besar, tahu semua koneksi, dan bila ia mengambil satu langkah pun, yang lain tidak berani maju. Apabila ini tidak dilakukan oleh founder, regenerasi tidak akan berjalan.
Sebaiknya ada pilihan bagi generasi berikutnya untuk bergabung atau tidak dalam perusahaan. Pengalaman eksternal juga diperlukan agar dapat memberikan masukan buat perusahaan. Perusahaan hendaknya menciptakan pembelajaran dan pengembangan bagi karyawan. Pendiri sedapat mungkin memilih penggantinya secepatnya. Jika suksesi dari sumber internal tidak ada, sebaiknya dicari alternatif-alternatif lain.
5 . Memilih Bentuk Kepemilikan Perusahaan
Pemilihan bentuk kepemilikan perusahaan merupakan hal penting. Bagaimana mungkin perusahaan bisa berjalan dengan efektif dan efisien ketika, modal yang dihimpun kurang, kelewat besarnya kewajiban yang harus ditanggung pemilik, ketidakleluasaan pengendalian manajemen perusahaan dan masih banyak lagi hal penting yang perlu dicermati pemilik badan usaha. Dalam bahasan ini ada tiga pilihan, yaitu
1.      Perseorangan (Sole Proprietorship),
Perusahaan yang dimiliki seorang pemilik. Ada 4 (empat) sifat yang harus diperhatikan :
û  Pemilik tunggal (Single owner).
û  Menanggung seluruh tanggung jawab.
û  Menghasilkan kurang 10 % dari seluruh penghasilan perusahaan.
Keuntungan
K e r u g i a n
Mendapatkan semua profit.                                                      
Menanggung semua kerugian
Kemudahan formasi.                                            
Kewajiban tidak terbatas.
Kontrol penuh.
Keterbatasan keuangan.
Pajak lebih rendah.                                           
Keterbatasan skill

2.      Persekutuan (Partnership),
Keuntungan
K e r u g i a n
Kerugian dibagi                                                 
Hutang tidak terbatas.
Spesialisasi 
Pendanaan   Kontrol dibagi
Keuntungan dibagi.



Jenis-jenis persekutuan (Type Partnership)
û  Sekutu Umum (General Partnership)
a. Sekutu kerja menjalankan bisnis sehari-hari.
b. Sekutu kerja mempunyai tanggungjawab tanpa batas.
û  Sekutu Komandite (Limited Partnership)
a. Sekutu komanditer hanya menanam modal dalam bisnis.
b. Sekutu komanditer adalah hanya dapat dikenakan kewajiban sampai kepada jumlah yang mereka menginvestasikan
3.      Korporasi (Corporation)
Karakteristik perseroan (Characteristic of corporation)
û  Piagam Perseroan (Corporate charter.)
û  Penetapan anggaran rumah tangga (Establishment of by laws).
û  Pemegang saham (Stockholders).
û  Dewan direktur (Board of directors).
û  Perseroan swasta vs Publik
û  Dipegang Swasta (Privately Held)
Cirinya :
û  Korporasi yang secara pribadi dipegang kepemilikan terbatas ke kelompok kecil investor.
û  Saham tidaklah diperdagangkan didepan umum.
û  Dipegang Publik (Publicly Held)
§  Korporasi lebih besar.
§  Saham diperdagangkan didepan umum.
§  Tindakan pada awalnya mengeluarkan bursa/stock: “ menawarkan saham pada Publik
Keuntungan
K e r u g i a n
Keterbatasan kewajiban
Pajak lebih banyak
Transfer kepemilikan  
Pengungkapan keuangan

Kompleksitas problem

6 . Ownership vs Leadership
Berdasarkan bahasan-bahasan diatas, kita dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan berbagai macam bentuk perusahaan dengan berbagai permasalahan yang ditunjukkan pula dengan bermacam-macam hasil survey statistik yang ada, baik di Indonesia maupun di Amerika. Kemudian, kita sampai pada pokok permasalahan yang ada yaitu Ownership or Leadership?
Sangat dimungkinkan maju atau mundurnya perusahaan dipengaruhi manajernya. Pertanyaannya, apakah seorang manajer diharuskan menjadi pemilik? Atau klisenya, mampukah seorang pemilik menjadi manajer dan pemilik sekaligus? Semua itu tergantung dari berbagai situasi,kondisi, tren, dan bentuk perusahaan tersebut. Kondisi dan situasi dapat mempengaruhi atmosfer internal dan eksternal perusahaan baik langsung maupun tidak langsung. Disinilah kemapuan manajerial seorang manajer diuji. Baik itu seorang manajer yang juga pemilik, atau hanya manajer sebagai pengelola perusahaan.
Untuk menentukan baik buruknya dua opsi tersebut, maka kita perlu melihat bentuk perusahaan dan di bidang apakah perusahaan itu bergerak. Namun, mungkin faktor kedua ini perlu dikesampingkan karena dalam tulisan ini, kita lebih berfokus ke faktor pertama. Telah disebutkan diatas adanya berbagai bentuk perusahaan, mulai perseorangan, partnership maupun korporasi.

6 . 1 Perseorangan
Secara umum, perusahaan perseorangan dimiliki satu orang saja. Si Pemilik, cenderung pula pengelola penuh perusahaan, yang benar-benar terjun penuh sebagai kontrol utama perusahaan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, keuntungan dan kerugiannya merupakan sebuah konsekuensi yang secara diatas kertas hanya bisa ditanggung satu orang saja tanpa ada pihak yang boleh mencampuri. Namun, prakteknya belum tentu demikian. Praktek dalam perusahaan kecil dapat dijadikan contoh. Memang secara diatas kertas, perusahaan ini hanya dimiliki oleh satu orang, tetapi yang terlibat di dalam operasionalnya belum tentu hanya Si Pemilik saja. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada sebuah situasi dimana Si Pemilik memberikan kuasa pengelolaannya kepada orang lain untuk mengoperasikan maupun mengelola perusahaannya. Karena perusahaannya berbentuk perseorangan, biasanya jangkauannya tidak terlalu luas dan pihak yang ditunjuk sebagai pengelola biasanya (pula) merupakan kerabat dekat pemilik atau bahkan putranya sendiri. Keuntungan dan kerugian kondisi seperti ini sama dengan kondisi yang ada dalam family business yang telah dibahas sebelumnya. (Dapat dibaca kembali diatas).
Apabila ada kondisi perusahaan dikelola oleh orang yang bukan kerabat, maka dapat dimungkinkan terjadi berbagai penyimpangan karena orang yang diberi kuasa tersebut bukan merupakan orang dalam. Sehingga dikhawatirkan adanya pengkhianatan yang menjurus kudeta perusahaan secara frontal maupun halus.
Contoh perusahaan yang dimiliki oleh orang lain yang bukan anggota keluarga pemilik perusahaan adalah Jawa Pos Group. Awalnya perusahaan ini hanya dimiliki oleh seorang pria tiong hoa yang bernama Chung Shen alias Suseno Tejo dengan nama Djawa Post yang didirikan dan pertama kali terbit 1 Juli 1949Seperti air laut, bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar juga mengalami pasang surut. Akhir 1970-an Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya tinggal 6800 eksemplar. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu mati. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London. Pada usia ke-85, beliau pun wafat di tahun 1989. Di tahun 1982, Eric FH Samola yang ketika itu menjabat Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit Majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos yang kemudian meletakkan dasar-dasar manajemen baru Jawa Pos. Akhirnya dia memilih Dahlan Iskan, Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk menjalankan ide-idenya itu untuk memimpin Jawa Pos. Tahun 1990 Eric Samola menderita sakit yang amat panjang dan akhirnya meninggal dunia di tahun 2000. Dahlan Iskan pun hanya menyebut Eric Samola sebagai pembimbing atau sudah seperti ayahnya. Tidak disebutkan mengapa Jawa Pos akhirnya dimiliki penuh oleh Dahlan Iskan saat ini yang pastinya akan diwarisi oleh Sang Putra Mahkota, Azrul Ananda yang juga memiliki bakat tidak kalah dari ayahnya dan sudah siap dan dipersiapkan untuk menerima tampuk perusahaan koran terbesar di jawa Timur tersebut.
Kesimpulannya, tidak harus seorang pemilik perusahaan perseorangan menjadi pengelola perusahaannya, seperti kasus Jawa Pos yang mampu lebih berkembang di tangan orang yang bukan pemilik perusahaan (awalnya). Memang kita tetap harus waspada adanya kemungkinhan kudeta perusahaan, karena itu perlu adanya pemilihan personal yang cermat dan terpercaya sehingga tidak terjadi pengkhianatan dan sejenisnya, namun juga membawa kemajuan perusahaan.

6 . 2 Partnership
 Dalam partnership, diharapkan terjadi kerjasama yang solid antara orang-orang yang ada di dalamnya. Terdapat 2 jenis pihak
yang biasa disebut sekutu, yaitu sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekurtu aktif adalah pihak yang menjalankan dan mengelola perusahaan. Oparasional. Kemajuan dan kemunduran perusahaan adalah tanggung jawab sekutu ini. Dialah yang menjadi motor perusahaan, tanpanya perusahaan tidak dapat berjalan.
Di sisi lain, terdapat sekutu pasif yang merupakan pihak yang hanya menanamkan modalnya, dengan prosentase kepemilikan berdasarkan besar kecilnya modal yang ditanam. Namun, sekutunpasif secara penuh tidak boleh turut campu dalam operasional perusahaan. Bila sekutu ini masih saja mengikuti kepentingan, maka terjadi adanya perpindahan status dari sekutu pasif menjadi sekutu aktif dan perusahaan akhirnya tidak memiliki sekutu pasif lagi. 
Karena adanya perbedaan kepentingan dan posisi, tidak menutup kemungkinan terjadi miskomunikasi yang mengakibatkan adanya salah informasi dan kesalahpahaman. Namun, dengan adanya pembagian posisi dan komunikasi yang efektif, dapat dimungkinakan terjadi spesialisasi dan pembagian kerja yang lebih spesifik, dan mengurangi percampuran keterlibatan dan percampuran kepentingan.
Apabila terjadi komunikasi yang efktif dan tepat, maka perbedaan posisi baik antara sekutu aktif dan sekutu pasif dapat dimaksimalkan. Bukan merupakan masalah bila bukan pemilik yang mengelola perusahaan. Namun, apabila antara sekutu aktif dan sekutu pasif tidak menjalin komunikasi dan kerjasama yang solid, maka menjadi semakin sulit. Karena dapat terjadi kesalah pahaman antara pihak penanam modal dengan pengelola perusahaan.
Maka dari itu sekutu aktif harus mampu meyakinkan sekutu pasif untuk tetap menanamkan modalnya di perusahaan dan menjamin bahwa modal yang mereka tanamkan akan bermanfaat dengan tingkat profitabilitas yang tinggi. Sedangkan sekutu pasif perlu adanya kepercayaan yang tinggi terhadap sekutu aktif sebagai pihak pengelola perusahaan.

6 . 3 . Korporasi
Sangat banyak pihak yang terlibat dalam korporasi, dimana jenis perusahaan ini adalah bentuk perusahaan yang paling komplek diantara dua bentuk perusahaan sebelumnya. Korporasi mirip dengan pertnership yang menggunakan kepemilikan penanaman modal sebagai prosentasi kepemilikan perusahaan. Pengendalian sepenuhnya dimiliki oleh pihak pemegang saham terbesar. Semakin besar prosentase kempimilikannya, maka semakin besar kekuasaaannya pada perusahaan.
Apabila orang yang memiliki perusahaan sejak awal memiliki saham paling besar dan memiliki integritas dan kredibilitas seorang pemimpin dan manajer yang mampu meningkatkan kompetensi perusahaan, hal itu sah-sah saja. Namun sebaliknya bila seseorang yang memiliki perusahaan dan tidak menjadi pengelola perusahaan secara langsung dengan melimpahkan wewenangnya pada orang lain yang ditunjuknya ada dua kemungkinan. Apabila orang tersebut mampu memimpin dan mengelola perusahaan dengan baik maka perusahaan akan tetap aman dari tangan orang luar. Tetapi apabila orang tersebut adalah orang yang kurang mampu atau bahkan bermoral kurang benar maka dikhawatirkan terjadi penipuan yang dapat mengakibatkan tersingkirnya Sang pamilik sebagai penguasa utama dan mungkin adalah kebangkrtan perusahaan.
Maka dari itu, untuk menghindarkan dari berbagai macam penipuan yang dilakukan para pengelola, terdapat ciri yang khusus yang membedakan bentuk perusahaan ini dengan kedua bentuk sebelumnya yaitu adanya pemberitaan keuangan secara transparan dimana semua pihak boleh mengetahuinya. Dengan demikian terdapat transparansi keuangan maupun hasil kinerja para pengelola yang dapat membantu para investor dan pihak penanam modal lain memilih perusahaan yang tepat untuk menanamkan modalnya.

7 . Kesimpulan
Bisnis dan manajemen sulit untuk dipisahkan. Begitu pula dengan berbagai kepentingan yang terlibat di dalamnya. Ownership maupun Leadership merupakan pilihan setiap perusahaan dan para pemiliknya demi kelangsungannya di masa mendatang. Semua juga tergantung arah dan tujuan perusahaan masing-masing. Selain itu juga tidak dapat dilupakan adalah apabila pemimpin ingin melimpahkan wewenangnya pada orang luar, mereka juga harus memperhatikan faktor integritas, kredibilitas, dan moralitas pihak yang ditunjuknya untuk memegang tampuk kekuasaan dalam perusahaannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Blogroll

Ini adalah aneka tugas kuliah yang saya kerjakan dan saya dapatkan saat kuliah Manajemen tahun 2006 hingga lulus. Hampir sepuluh tahun yang lalu. Koreksilah dahulu, cocokkan dulu dengan bahasannya dan jangan asal kopi-paste, karena bisa saja edisi bukunya berbeda sehingga soal-soalnya berbeda dan akhirnya jawabannya juga berbeda. Adanya gini, jangan minta lebih. Kalau mau perfect ya kerjakan sendiri. Tugas-tugas saya ini hanya sebagai penunjang yang fungsinya supporting, bukan sebagai tulang punggungnya. Gunakan dengan bijak, semoga bermanfaat.

About