1 .
Apakah Manajer Juga Seorang Pemimpin?
Selama ini, kebanyakan manager berpedoman
pada prinsip-prinsip manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian,
pengendalian, dan pengontrolan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Tetapi
di dalam menghadapi cepatnya perubahan ekonomi dan mengatasi lingkungan bisnis
yang penuh dengan persaingan dewasa ini, dengan hanya menjalankan keempat prinsip
tersebut tidaklah cukup. Manajer perlu mengubah posisinya sebagai seorang manajer
yang baik menjadi seorang pemimpin yang baik. Secara umum, pemimpin dan manajer
tak berbeda di dalam usaha melaksanakan tugasnya. Keduanya berpedoman pada
prinsip-prinsip manajemen dalam menjalankan tugasnya. Tapi ada hal yang
mendasar yang membedakan pemimpin dan manajer.
Mengubah Sifat
Mengubah Sifat
Bennis dan Nanus, dua orang pakar
manajemen, dalam bukunya Leaders,
membuat perbedaan antara manajer dan pemimpin. Manajer menjalankan tugasnya
dengan benar, sementara pemimpin melakukan sesuatu yang benar.
Sedangkan Stephen Covey, pengarang The 7 Habits of Highly Effective People,
menggambarkan, manajer mencari cara yang paling efisien untuk mencapai tangga
sukses, sedang pemimpin menentukan apakah tangga yang dinaiki berada pada
tembok yang benar. Covey memberikan ilustrasi yang jelas mengenai perbedaan
manajer dan pemimpin. Dalam usahanya membuat jalan menembus hutan yang lebat,
seorang manajer memberi petunjuk bawahannya cara yang paling efisien menebang
pohon yang ada. Sedangkan seorang pemimpin tak hanya memberi tahu bawahannya
cara yang paling efisien dalam menebang pohon, tapi dia juga memanjat pohon
yang tinggi untuk melihat apakah pohon-pohon yang ditebang bawahannya itu
menuju arah yang benar.
Manajer dewasa ini diharapkan mengubah
sifat dan kebiasaannya. Tidak saja menjalankan tugas dengan benar, melainkan
juga mempunyai pandangan ke depan (vision), apakah tugas yang ada itu memang
benar perlu dilaksanakan.
Dalam bukunya The Leader-Manager, William D. Hewitt, mengatakan, ada 4 tipe manajer;
1.
Tipe korban (victim),
Dinamakan tipe
korban karena manajer tipe ini kurang kreatif dalam gagasan dan pelaksanaan
tugasnya. Manager tipe ini takut akan perubahan dan menghabiskan banyak waktu
untuk menentang. Mereka takut menjadi korban seandainya perubahan memang harus
terjadi di dalam organisasinya.
2.
Tipe pemimpi (deamer),
Manager dengan tipe
pemimpi mempunyai banyak gagasan, tetapi tidak tahu bagaimana mencapai gagasan
tersebut. Manajer tipe ini lama kelamaan cenderung menjadi manajer yang suka
berandai-andai.
3.
Tipe pelaksana (doer),
Manager dengan tipe
pelaksana mempunyai sifat kurang kreatif dalam gagasan, tapi mampu melaksanakan
apa yang menjadi tugasnya. Manager tipe pelaksana selalu menunggu petunjuk dan
bimbingan dalam melaksanakan tugasnya.
4.
Tipe pemimpin manajer (leader-manajer)
Tipe terakhir, tipe
pemimpin manager. Manager tipe ini mempunyai pandangan ke depan (visionary),
banyak gagasan dan tahu bagaimana mencapainya. Manager tipe ini mampu
membimbing dan mengarahkan bawahannya untuk mencapai gagasannya.
Tipe terakhir inilah yang dibutuhkan
untuk mengatasi cepatnya perubahan dan lingkungan usaha yang makin bersaing.
Manager yang mempunyai sifat seorang pemimpin, yang mempunyai banyak gagasan,
tidak sekadar membawa organisasi ke arah yang sudah ditentukan, melainkan juga
berani berinisiatif membawa perubahan menuju ke arah yang lebih baik dalam
usaha mengatasi cepatnya perubahan ekonomi, dan persaingan bisnis yang semakin
keras.
Untuk menjadi seorang pemimpin, dengan
hanya mempunyai gagasan saja tidaklah cukup. Dalam usahanya membawa perubahan
di dalam organisasi untuk mencapai gagasan tadi diperlukan kerja sama dengan
kelompoknya. Mendapat dukungan dari kelompoknya merupakan hal yang utama pimpinan
dalam mencapai sukses. Ini tidaklah mudah, terutama di jaman sekarang, di mana
kita terperangkap dalam lingkaran setan.
Cepatnya perubahan ekonomi dan
ketatnya persaingan, menyebabkan banyak organisasi terpaksa mengurangi tenaga
kerjanya dalam usahanya untuk bertahan. Akibatnya, pegawai kurang
kepercayaannya terhadap organisasi yang menyebabkan turunnya loyalitas kerja.
Menurunnya loyalitas kerja menyebabkan turunnya produktivitas kerja, yang
menyebabkan pada akhirnya mengakibatkan organisasi sulit bersaing.
Tidak Efektif Lagi
Untuk mengatasi hal ini, sudah menjadi
tugas seorang pimpinan untuk memutuskan lingkaran setan tadi, yakni dengan
mengembalikan kepercayaan bawahan dan mempersatukan mereka. Pemimpin yang baik
harus berpedoman pada pepatah bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh, atau bersemboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk membentuk satu tim yang kuat dalam
usahanya melawan keadaan yang tidak menentu di luar organisasi.
Hal utama untuk membangun kerja sama
yang baik ialah menanamkan rasa saling percaya dari kedua pihak. Mengubah
pandangan negatif pimpinan terhadap bawahan, dan juga pandangan negatif bawahan
terhadap organisasi atau pimpinannya.
Banyak pemimpin yang masih menggunakan sistem transaksi dalam hubungannya dengan bawahan, dimana pimpinan memberikan imbalan untuk bawahan yang melaksanakan tugas yang diberikan. Sistem hubungan seperti ini sudah tidak efektif lagi. Sistem transaksi adalah sistem satu arah, di mana segala keputusan dibuat oleh pimpinan. dan tugas bawahan hanya melaksanakan tugas saja. Akibatnya, bawahan sulit untuk ikut bergairah mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi kepentingannya. Sistem lain yang lebih efektif, sistem hubungan transformasi, sistem dua arah, dimana pimpinan membicarakan gagasan yang ada, membuka diri dan mau menerima saran dari bawahan, menjadikan gagasan itu keputusan bersama, membantu mengembangkan potensi bawahan ke tingkat maksimum, dan menaruh kepercayaan dan mereka mampu mengatur tugas mereka sendiri dalam usahanya mencapai gagasan bersama.
Banyak pemimpin yang masih menggunakan sistem transaksi dalam hubungannya dengan bawahan, dimana pimpinan memberikan imbalan untuk bawahan yang melaksanakan tugas yang diberikan. Sistem hubungan seperti ini sudah tidak efektif lagi. Sistem transaksi adalah sistem satu arah, di mana segala keputusan dibuat oleh pimpinan. dan tugas bawahan hanya melaksanakan tugas saja. Akibatnya, bawahan sulit untuk ikut bergairah mengerjakan sesuatu yang bukan menjadi kepentingannya. Sistem lain yang lebih efektif, sistem hubungan transformasi, sistem dua arah, dimana pimpinan membicarakan gagasan yang ada, membuka diri dan mau menerima saran dari bawahan, menjadikan gagasan itu keputusan bersama, membantu mengembangkan potensi bawahan ke tingkat maksimum, dan menaruh kepercayaan dan mereka mampu mengatur tugas mereka sendiri dalam usahanya mencapai gagasan bersama.
Bawahan seperti pemimpin, ingin
dipandang, mereka juga mampu mengatur diri sendiri dalam melaksanakan tugas dan
merasa ingin berarti bagi organisasi. Bawahan juga ingin gagasannya didengear
oleh pimpinan, ingin merasa punya andil dalam suksesnya perusahaan. Dan ini
akan berhasil kalau bawahan diberikan hak untuk ikut bersuara, ikut andil dalam
pengambilan keputusan.
Ini tidak berarti keputusan diambil
dari bawahan, tapi bisa juga keputusan yang disetujui bawahan. Tugas pemimpin
dalam sistem transformasi ialah memimpin bawahan untuk memimpin dirinya sendiri
dan membantu bawahan mengembangkan potensinya.
Hal utama yang menentukan berhasilnya,
hubungan pimpinan dan bawahan ialah komunikasi yang baik dari kedua belah
pihak. Jika ini dilaksanakan, maka akan terbentuk satu tim yang tangguh, tim
yang siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal mengancam kelompoknya.
Contoh seorang manager yang berhasil
ialah almarhum Sam Walton, pendiri toko serba ada Wal-Mart, yang dalam waktu 30
tahun mampu mengembangkan Wal-Mart menjadi lebih dari 1.700 toko serba ada di
Amerika Serikat. Perkembangan Wal-Mart yang seperti jamur di musim hujan in
adalah merupakan hasil nyata dari jerih payah Sam Walton dalam merangkul rekan kerjanya,
panggilan Sam terhadap pegawainya.
Konsep yang ditanamkan Sam Walton
untuk pegawainya, mendorong mereka untuk menjadi pimpinan di bidangnya
masing-masing. Mereka didorong untuk kreatif, berani mengambil inisiatif untuk
membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Sam memberikan kebebasan kepada
pegawainya untuk mengambil keputusan sendiri, mencoba ide-ide baru asal tidak
bertentangan dengan tujuan Wal-Mart, yakni memuaskan langganan dan menjual
produknya semurah mungkin.
Manajer di setiap departemen
diharapkan menganggap dan mengatur toko yang dia pimpin seperti miliknya
sendiri. Mereka mendapat dukungan dan informasi yang mereka perlukan, dari
laporan untung rugi perusahaan sampai inventarisasi. Selain itu hampir semuanya
akan kerja ikut andil dalam saham perusahaan, dari sopir truk sampai ke CEO
perusahaan. Inilah yang menyebabkan suksesnyaWal-Mart.
Prinsip yang ia tanamkan pada semua
pegawainya untuk menjadi pemimpin dibidangnya masing-masing mampu membawa
Wal-Mart menjadi toko serba ada terbesar di Amerika Serikat. Sam Walton tahu
dan percaya akan potensi rekan kerjanya dan memberi kebebasan untuk melakukan
tugasnya. Selain itu, ikut andil dalam saham perusahaan menyebabkan bawahan
ikut memiliki perusahaan perusahaan, yang menyebabkan mereka termotivasi untuk
bekerja keras demi suksesnya perusahaan mereka.
Kepercayaan, seseorang dapat menjadi
pemimpin karena dia sudah ditakdirkan punya karisma, atau sudah ditakdirkan
untuk menjadi pimpinan adalah hal yang perlu diubah. Semua orang mampu menjadi
pemimpin.
Tugas manager sebagai pemimpin yang
baik ialah berani mengambil gagasan untuk mengubah keadaan menuju ke arah yang
lebih baik, mengkomunikasikan ke kelompoknya, membantu membangkitkan kemampuan
maksimal kelompoknya, dan mempercayai bahwa mereka dapat menjadi pemimpin di
bidang mereka masing-masing.
2 . Family
Business
Membahas
family business selalu saja menarik, karena sangat dominannya peran perusahaan
keluarga ini dalam dunia bisnis. Di negara semaju AS saja, 90 persen dari 15
juta perusahaannya merupakan family business. Kalau Anda menganggap
perusahaan keluarga adalah perusahaan kecil, Anda akan terkecoh. Bayangkan,
sepertiga dari 500 perusahaan yang masuk dalam daftar majalah Fortune milik
keluarga. Bahkan family business mampu menyumbang 40% GNP AS. Berdasarkan
survai Universitas Monash, 71% family business di Australia dipegang
oleh generasi pertama, generasi kedua memegang 20% dan sisanya oleh generasi
berikutnya. Sedangkan dari sisi kesejahteraan, survai ini juga menunjukkan
bahwa family business merupakan penopang ekonomi Australia. Apa artinya?
Walaupun bisnis keluarga mempunyai peran yang besar sebagai penopang ekonomi di
AS maupun Australia, keberlangsung-an bisnis keluarga merupakan tanda tanya
besar.
Suksesi
memang merupakan ‘penyakit’ utama bisnis keluarga. Coba tengok survai yang
dilakukan oleh Gallup: Hanya 28% dari family business di AS yang
benar-benar mempunyai perencanaan suksesi. Lainnya melakukan suksesnya lebih
karena ‘terpaksa’ karena tidak menemukan alternatif lain. Kenyataan lain
menunjukkan hanya tujuh persen family business yang mempunyai penasehat
profesional.
Family
business memang selalu menarik
perhatian, karena selalu saja ada fakta baru untuk dibahas. Misalnya apa
perbedaan antara family-owned enterprise dan family business?
Meskipun sama-sama dimiliki oleh keluarga, family-owned
enterprise bisa dijalankan baik oleh anggota keluarga maupun profesional,
sementara family business dimanajemeni sebagian besar oleh anggota
keluarga yang memegang posisi kunci dalam organisa
Ciri-ciri
Ciri khas bisnis ini dibandingkan bisnis lainnya terutama terletak pada kepemimpinan dan kontrol yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Ciri khas bisnis ini dibandingkan bisnis lainnya terutama terletak pada kepemimpinan dan kontrol yang akan diwariskan pada generasi berikutnya.
Kepemilikan
yang signifikan oleh keluarga terjadi jika keluarga tersebut memilikinya secara
keseluruhan atau sebagian besar dari bisnis, dan memegang peranan aktif dalam
penyusunan strategi dan dalam operasional sehari-hari.
Mengapa
perusahaan keluarga mempunyai peran dominan? Karena ciri positif yang dimiliki:
ü Keterlibatan anggota keluarga,
ü Komitmen yang tinggi,
ü Saling ketergantungan yang tinggi pula.
Dibandingkan
perusahaan publik, perusahaan keluarga pada umumnya cenderung memiliki sudut
pandang jangka panjang terhadap bisnisnya. Hal ini agak berbeda dengan
perusahaan publik yang seringkali banyak bertumpu pada pertimbangan jangka
pendek karena terkait dengan fluktuasi saham.
Pemimpin
dalam perusahaan keluarga mungkin memiliki pandangan yang berbeda dibandingkan
karyawan, pelanggan, komunitas, maupun stakeholders penting lainnya, yang
memberi dampak positif terhadap kualitas produk mereka.
Memiliki
nama dan produk membuat para pemimpin bisnis keluarga lebih sadar terhadap
posisi mereka dalam komunitas, yang mendorong mereka untuk menjaga reputasi
mereka.
Di
dalam banyak kasus perusahaan dan produknya sangat mempengaruhi identitas
anggota keluarga. Sehingga jika diasosiasikan dengan produk yang inferior atau
cacat, seakan-akan merefleksikan diri mereka.
Jadi
sebuah keluarga kemungkinan tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan finansial
jangka pendek yang dapat menodai kedudukan perusahaan. Jika suatu keluarga
memproduksi anggur, untuk beberapa generasi anggota keluarga mempunyai
kebanggaan terhadap produk mereka.
Dari
sisi budaya organisasi semangat keluarga menentukan nilai, norma, dan sikap
yang berlaku dalam perusahaan sementara nilai dari anggota keluarga
mengekspresikan penciptaan suatu tujuan umum bagi karyawan dan membantu
terbentuknya rasa identifikasi dan komitmen.
Dalam
perusahaan keluarga yang berjalan terus, karyawan memiliki perasaan sebagai
bagian dari keluarga yang menciptakan atmosfir lebih peduli. Juga karena
relatif tidak birokratif akses kepada manajemen senior lebih mudah dan
pengambilan keputusan lebih cepat dan lebih efektif.
Sedangkan
ciri negatifnya yaitu;
û kurangnya formalitas,
û pemisahan yang kabur urusan personal dan bisnis,
û kepimimpinan ganda.
û Hubungan interpersonal yang emosional tampak
menonjol.
Family business ini secara organisasional juga sering membingungkan. Dominasi oleh keluarga
mengakibatkan alasan keluarga berada di atas perhitungan bisnis, sehingga
melemahkan profesionalisme.
Alasan ini pula yang menyebabkan toleransi kepada anggota keluarga yang
tidak kompeten, yang dapat melemahkan sendi-sendi kompetensi perusahaan. Sistem
reward yang tidak berimbang, juga mempersulit merekrut manajemen yang
profesional.
Struktur family business seperti apa yang sebaiknya dipilih? Sole
proprietorship, general partnership, limited partnership, atau corporation?
Secara baku tidak ada bentuk terbaik, karena kebutuhan setiap perusahaan
bersifat khas.
Sehingga untuk memilih jenis struktur yang.akan diterapkan harus
disesuaikan terlebih dahulu antara sasaran bisnis dan tipe struktur bisnis.
Jika bisnis yang digeluti berisiko tinggi, akan lebih penting untuk membatasi
liabilitasnya. Selain itu bagaimana peluang mendapatkan modal dan derajat
fleksibilitas pergantian bentuk juga perlu dipertimbangkan.
Kasus konflik keluarga Nyonya Meneer
menyadarkan kita bahwa perusahaan keluarga memang rapuh. Rapuh tak hanya oleh
hempasan perubahan lingkungan bisnis eksternal, tetapi lebih-lebih oleh konflik
dan perpecahan dalam tubuh organisasi perusahaan. Oleh karena kenyataan ini,
tak heran kalau sampai ada ungkapan Cina lama yang mengatakan bahwa, dalam sebuah perusahaan keluarga, tugas dari
generasi pertama adalah mendirikan perusahaan, generasi kedua mengembangkan,
dan generasi ketiga menghancurkan.
Handicap
Tidak
seperti perusahaan pada umumnya, perusahaan keluarga memang memiliki beberapa “handicap
struktural” yang membuat pengelolaannya menjadi lebih pelik. Pertama, seperti
kasus Nyonya Meneer, tingginya potensi konflik kepentingan antaranggota
keluarga. Konflik antaranggota keluarga ini sering menyebabkan tingginya corporate
politic dalam perusahaan, yang ujung-ujungnya berdampak tidak fokusnya
perusahaan untuk membangun strategi, melakukan pengambilan keputusan, dan
mengalokasi sumber daya.
Kedua, suksesi menjadi agenda sangat penting bagi perusahaan keluarga, karena
ia secara langsung menentukan sustainability perusahaan dalam jangka
panjang, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perusahaan keluarga umumnya
tidak secara formal dan sistemik dalam mengelola persoalan suksesi ini,
sehingga masalah ini umumnya tak terkelola dengan baik. Salah-urus dalam
pengelolaan suksesi ini sering kali berakibat fatal, berupa ambruknya dinasti
perusahaan keluarga tersebut.
Ketiga, perusahaan keluarga umumnya sulit berubah dan melakukan transformasi
karena dominannya peran para perintis dan founding father. Implikasinya,
perubahan terhadap warisan (legacy) pendahulu, baik berupa strategi,
sistem, budaya, maupun gaya kepemimpinan umumnya sulit dilakukan, bahkan
dianggap tabu oleh generasi penerusnya. Change capacity yang rendah
inilah yang menjadi biang mengapa tingkat sustainability perusahaan
keluarga umumnya juga rendah.
Survei yang dilakukan di seluruh dunia (Lansberg, 1999) menunjukkan rendahnya “survival
rate” dari perusahaan keluarga. Hanya 30% perusahaan keluarga di seluruh
dunia yang mampu bertahan sampai generasi kedua. Faktor utama rendahnya survival
rate ini terletak pada rendahnya change capacity dan lemahnya
perencanaan suksesi dari kebanyakan perusahaan keluarga.
Tiga Area
Kalau
Anda membaca secara jeli perjalanan transformasi Nyonya Meneer, pasti Anda akan
menemukan bahwa pengelolaan sebuah perusahaan keluarga tidak bisa hanya
menggunakan pendekatan teknis bisnis: perombakan strategi, restrukturisasi
organisasi, pembaruan budaya perusahaan, penajaman visi-misi, penerapan tool-tool
manajemen macam Balanced Scorecard atau Six Sigma. Untuk sukses menjalankan
perusahaan keluarga, setidaknya ada tiga area yang harus dikelola secara
serasi-seimbang. Tiga area itu adalah pengelolaan bisnis (business
management), pengelolaan keluarga (family management), dan
pengelolaan kepemilikan (ownership management). Ketiganya saling
terkait, sehingga keberhasilan satu aspek pengelolaan, tanpa ditunjang oleh
aspek yang lain, tak akan mampu menjamin sustainability perusahaan
keluarga dalam jangka panjang.
Pertama, menyangkut pengelolaan teknis bisnis perusahaan: menjalankan strategi,
mengimplementasi visi-misi, membangun desain organisasi, dan sebagainya. Area
ini generik sifatnya. Artinya, kita akan menemuinya pada jenis perusahaan apa
pun, apakah itu perusahaan keluarga atau bukan. Aspek ini penting, tetapi,
seperti saya katakan di depan, menjadi loyo begitu dua aspek yang lain
terabaikan.
Kedua, menyangkut tetek bengek pengelolaan keluarga yang, dalam hal ini,
merupakan salah satu stakeholder utama perusahaan mengingat posisinya
sebagai pemilik. Berbagai isu yang menyangkut pengelolaan keluarga ini sangat
beragam dan luas cakupannya, seperti pembagian “kekuasaan” di antara anggota
keluarga pemilik, penentuan anggota keluarga yang akan duduk di dalam
manajemen, membangun trust dan family bond, mengelola
berbagai kepentingan yang bermain di antara keluarga yang terlibat di dalam
perusahaan, menentukan garis besar kebijakan keluarga, menyatukan visi
keluarga, mengelola konflik antarkeluarga, dan perencanaan suksesi dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Adapun yang ketiga menyangkut pengelolaan kepemilikan saham perusahaan. Isu
yang terkait dengan kepemilikan ini pun memiliki cakupan yang amat luas dan
sangat strategik bagi masa depan perusahaan. Isu tersebut mencakup, di
antaranya, perumusan struktur dan distribusi kepemilikan antarkeluarga yang
terlibat, kapitalisasi modal, mekanisme kontrol keluarga di dalam perusahaan,
kebijakan untuk menarik modal dari luar keluarga, atau mempertahankan dominasi
kepemilikan keluarga.
Melihat berbagai tantangan di atas, dapat mengakibatkan kita berpikir betapa rumitnya
mengelola entitas bisnis bernama perusahaan keluarga. Kembali ke kasus Nyonya
Meneer, Pak Charles sangat hebat, mampu survive dan sukses selama
sekitar 30 tahun mengelola tiga pilar manajemen keluarga—manajemen bisnis,
manajemen keluarga, dan manajemen kepemilikan—secara seimbang dan harmonis di
tengah gelombang tantangan yang demikian hebat. Dalam kondisi sarat konflik
seperti itu, tak gampang menjadi “hero” di sebuah perusahaan keluarga.
3 .
Pemisahan Peran Antar Pemegang Saham
Dengan adanya pemisahan peran
antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajer sebagai agennya, maka
manajer pada akhirnya akan memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam hal
bagaimana mereka mengalokasikan dana investor (Jensen & Meckling, 1976;
Shleifer & Vishny, 1997). Selain itu Mizruchi (1983) juga menjelaskan bahwa
dewan merupakan pusat dari pengendalian dalam perusahaan, dan dewan ini
merupakan penanggung jawab utama dalam tingkat kesehatan dan keberhasilan
perusahaan secara jangka panjang (Louden, 1982).
Dewan direksi dalam suatu
perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan
tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan peran dewan
komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari
implementasi kebijakan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir
permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham.
Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan
direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang
saham.
Pentingnya dewan (baik dewan
direksi maupun dewan komisaris) tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan baru,
berapa banyak dewan yang dibutuhkan perusahaan? Apakah dengan semakin banyak
dewan berarti perusahaan dapat meminimilisasi permasalahan agensi antara
pemegang saham dengan direksi? Jumlah dewan yang besar menguntungkan perusahaan
dari sudut pandang resources dependence (Alexander, Fernell, Halporn,
1993; Goodstein, Gautarn, Boeker, 1994; Mintzberg, 1983). Maksud dari pandangan
resources dependence adalah bahwa perusahaan akan tergantung dengan
dewannya untuk dapat mengelola sumber dayanya secara lebih baik. Pfeffer &
Salancik (1978) juga menjelaskan bahwa semakin besar kebutuhan akan hubungan
eksternal yang semakin efektif, maka kebutuhan akan dewan dalam jumlah yang besar
akan semakin tinggi. Sedangkan kerugian dari jumlah dewan yang besar berkaitan
dengan dua hal, yaitu: meningkatnya permasalahan dalam hal komunikasi dan
koordinasi dengan semakin meningkatnya jumlah dewan dan turunnya kemampuan
dewan untuk mengendalikan manajemen, sehingga menimbulkan permasalahan agensi
yang muncul dari pemisahan antara manajemen dan kontrol (Jensen, 1993; Yermack,
1996).
Corporate Governance (CG) merupakan tata kelola perusahaan yang
menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang
menentukan arah dan kinerja perusahaan (Monks & Minow, 2001). Isu mengenai
CG ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia, setelah Indonesia mengalami
masa krisis yang berkepanjangan sejak tahun 1998. Banyak pihak yang mengatakan
lamanya proses perbaikan di Indonesia disebabkan oleh sangat lemahnya CG yang
diterapkan dalam perusahaan di Indonesia. Sejak saat itu, baik pemerintah
maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktek
CG.
Porter (1991) menyatakan bahwa alasan mengapa
perusahaan sukses atau gagal mungkin lebih disebabkan oleh strategi yang
diterapkan oleh perusahaan. Kesuksesan suatu perusahaan banyak ditentukan oleh
karakteristik stategis dan manajerial perusahaan tersebut. Strategi tersebut
diantaranya juga mencakup strategi penerapan sistem Good Corporate
Governance (GCG) dalam perusahaan. Struktur GCG dalam suatu perusahaan bisa
jadi dapat menentukan sukses tidaknya suatu perusahaan.
Kemungkinan suatu perusahaan berada pada posisi
tekanan keuangan banyak dipengaruhi oleh struktur kepemilikan perusahaan
tersebut. Struktur kepemilikan tersebut menjelaskan komitmen dari pemiliknya
untuk menyelamatkan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Classens et al.
(1996) mengenai struktur kepemilikan di Republik Ceko menyatakan bahwa nilai
suatu perusahaan akan lebih tinggi apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh
lembaga keuangan yang disponsori oleh bank. Hal ini menjelaskan bahwa bank,
sebagai pemilik perusahaan, akan menjalankan fungsi monitoringnya dengan lebih
baik dan investor percaya bahwa bank tidak akan melakukan ekspropriasi atas
aset perusahaan. Selain itu, apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh
perbankan maka apabila perusahaan tersebut menghadapi masalah keuangan maka
perusahaan akan lebih mudah mendapatkan suntikan dana dari bank tersebut.
Classens et al. (1999) menyatakan bahwa kepemilikan oleh bank akan menurunkan
kemungkinan perusahaan mengalami kebangrutan. Namun, apabila struktur
kepemilikan perusahaan dimiliki oleh dewan direksi atau dewan komisarisnya maka
dewan tersebut justru akan cenderung melakukan tindakan-tindakan ekspropriasi
yang menguntungkannya secara pribadi.
Oleh karena
itu dengan kepemilikan perusahaaan dimiliki oleh direksi semakin meningkat maka
keputusan yang diambil oleh direksi akan lebih cenderung untuk menguntungkan
dirinya dan secara keseluruhan akan merugikan perusahaan sehingga kemungkinan
nilai perusahaan akan cenderung mengalami penurunan.
4 . Mekanisme Corporate Goverance dalam Pperusahaan yang
Memiliki Masalah Keuangan (FINANCIALLY
DISTRESSED FIRMS)
Dari 24 juta
perusahaan keluarga di Amerika Serikat, 55% perusahaan yang CEO-nya berusia
lebih dari 61 tahun dan diharapkan untuk pensiun, dalam lima tahun terakhir
belum memilih seorang penerus (The Mass Mutual Financial Group, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Dari hasil survei The Jakarta Consulting Group, perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia ternyata belum semuanya mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi untuk memimpin perusahaan. Responden yang telah mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi sebanyak 67,8% sedangkan yang lain (32,2%) tidak atau belum mempersiapkannya.
Bagaimana di Indonesia? Dari hasil survei The Jakarta Consulting Group, perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia ternyata belum semuanya mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi untuk memimpin perusahaan. Responden yang telah mempersiapkan penerus melalui perencanaan suksesi sebanyak 67,8% sedangkan yang lain (32,2%) tidak atau belum mempersiapkannya.
Hasil survei juga
menunjukkan, penerus perusahaan keluarga diutamakan satu anak kandung (45%)
atau beberapa anak kandung (31%). Kriteria lain adalah anggota keluarga yang
kompeten (8%), anggota keluarga pemegang saham (7%), anggota keluarga lain
(3%), non-anggota keluarga profesional (2%), sesuai keputusan pemegang saham
(2%), dan yang lainnya (2%) belum memikirkan bahkan merencanakan suksesi.
Bagaimana mereka
menyiapkan suksesi? Sebanyak 40% responden menyekolahkan calon penerus hingga
ke jenjang S1 atau S2, 34% mulai melibatkan calon penerus dalam aktivitas
perusahaan, 12% mengikutsertakan dalam job training di perusahaan. Persiapan
lainnya adalah dengan mengikutkan mereka dalam internship (magang) di
perusahaan lain dan informal training (masing-masing 6%), dan ada yang hanya
berdasarkan dukungan senior (1%) dan kharisma/kompetensi yang bersangkutan
(1%).
Suksesi senantiasa
terkait dengan pergantian antar generasi atau multigenerasi. Isu-isu
multigenerasi yang muncul bermacam-macam. Salah satunya adalah tidak adanya
keinginan generasi lama untuk berbagi kekuasaan dengan generasi penerus.
Isu lainnya adalah
generasi penerus perusahaan tidak bermotivasi tinggi untuk meningkatkan
perusahaan, tetapi mereka menikmati hidup dan hanya bekerja untuk menyenangkan
big boss saja. Generasi penerus ini tidak menerima dukungan yang cukup dari
pemilik atau seniornya sehingga keputusan-keputusan yang mereka buat merupakan
second class decision saja dan kewenangan mereka dalam perusahaan tidak
signifikan. Salah satu isu yang serius dalam perusahaan keluarga adalah
kepemimpinan karbitan. Artinya terlalu cepat mengambil alih kepemimpinan tanpa
didukung pengalaman lapangan (jam terbang) yang cukup. Oleh karena itu perlu
disadari bahwa regenerasi ini membutuhkan waktu dan harus direncanakan.
Perencanaan Suksesi
Perencanaan suksesi
merupakan sesuatu yang pelik dan membuat pendiri enggan untuk melakukannya.
Keengganan tersebut bisa saja karena kekhawatiran akan matinya perusahaan,
keengganan untuk menyerahkan kendali atas perusahaan, ketakutan akan hilangnya
identitas diri, atau bahkan perasaan cemburu atau rivalry terhadap penerusnya.
Alasan lain tidak dipersiapkannya suksesi adalah pendiri merasa generasi muda
tidak tertarik untuk berpartisipasi di perusahaan, atau sulit untuk menentukan
anak mana yang berkompeten untuk meneruskan bisnisnya. Sementara si anak merasa
memiliki beban untuk memajukan perusahaan sebagaimana orang tuanya dengan
kemampuan yang dia miliki atau beban untuk mempersatukan anggota keluarga bila
terjadi konflik internal.
Berbicara tentang
suksesi dalam perusahaan keluarga, semangat dan tongkat estafet memang
diturunkan ke generasi berikutnya. Mengapa ini penting? Pertama, karena kontinuitas penting sekali disiapkan agar tidak
terjadi Prince Charles Syndrome. Pangeran Charles yang sudah berusia 50 tahun
masih tetap sebagai putera mahkota, dan kita tidak tahu kapan dia akan menjadi
raja. Sedangkan ibunya, Ratu Elizabeth, sudah berumur 70 tahun dan belum ada
tanda-tanda turun dari tahta. Kalau, misalnya, ibunya meninggal pada usia 100
tahun, apakah Pangeran Charles harus menunggu tiga puluh tahun lagi untuk
menjadi raja? Kedua, kalau generasi
pertama pensiun atau menghadap Tuhan, perusahaan diharapkan tetap bagus dan
berjalan lancar. Alasan ketiga adalah
untuk menjaga harmoni keluarga.
Apabila benar-benar
sudah waktunya bagi anak-anak untuk memegang peran utama dalam perusahaan,
sebaiknya pendiri atau pemilik mulai menulis buku untuk berbagi pengalaman dan
kebijaksanaan. Bisa juga dengan mendirikan yayasan dan mengajar dan tidak
berkutat dengan perusahaan lagi sehingga anak-anak atau putera-puteri
mahkotanya tidak mengalami Prince Charles Syndrome di atas.
Sindrom tadi jangan
sampai terjadi di perusahaan keluarga. Kalau anak-anak sudah siap dan mampu
menjalankan perusahaan, maka orang tua harus mau meninggalkan perusahaan. Kalau
tidak, bisnis akan menjadi stagnan, tidak bisa meledak. Yang perlu dipikirkan
adalah bagaimana caranya agar generasi kedua dan ketiga bisa meneruskan
perusahaan keluarga dan peralihan tongkat estafet berjalan mulus.
Dalam membahas
perencanaan suksesi, perlu dibicarakan pula dukungan kepemimpinan dan proses perencanaan
suksesi. Ward menyebutkan bahwa 40% dari seluruh perusahaan di dunia
mengantisipasi atau sedang menghadapi proses suksesi saat ini, yaitu pelimpahan
bisnis dari generasi senior yang sedang menguasai bisnis ke kepemimpinan dan
kepemilikan generasi berikutnya. Dalam sejarah, sekitar 50% perusahaan keluarga
gagal melimpahkannya ke generasi berikutnya.
Masih menurut Ward,
sekitar 25 tahun yang lalu, hanya 5-10% perusahaan keluarga di Amerika Serikat
yang dimiliki dan dijalankan oleh tim dari saudara-saudara sekandung. Sisanya
dipimpin oleh pemimpin-pemimpin tunggal, terutama laki-laki. Dewasa ini, 40-50%
perusahaan keluarga di Amerika Serikat akan dimiliki dan dipimpin oleh
kelompok-kelompok kakak beradik.
Rencana suksesi
yang efektif dalam perusahaan keluarga antara lain merencanakannya sedini
mungkin dengan melibatkan anggota keluarga. Founder harus mulai mengambil dua
langkah ke belakang (to take two steps back) agar generasi penerus dan
profesional baru bisa mengambil satu langkah ke depan. Founder dianggap sebagai
tokoh yang wibawanya besar, tahu semua koneksi, dan bila ia mengambil satu
langkah pun, yang lain tidak berani maju. Apabila ini tidak dilakukan oleh
founder, regenerasi tidak akan berjalan.
Sebaiknya ada
pilihan bagi generasi berikutnya untuk bergabung atau tidak dalam perusahaan.
Pengalaman eksternal juga diperlukan agar dapat memberikan masukan buat
perusahaan. Perusahaan hendaknya menciptakan pembelajaran dan pengembangan bagi
karyawan. Pendiri sedapat mungkin memilih penggantinya secepatnya. Jika suksesi
dari sumber internal tidak ada, sebaiknya dicari alternatif-alternatif lain.
5 . Memilih Bentuk Kepemilikan Perusahaan
Pemilihan bentuk kepemilikan perusahaan merupakan hal
penting. Bagaimana mungkin perusahaan bisa berjalan dengan efektif dan efisien
ketika, modal yang dihimpun kurang, kelewat besarnya kewajiban yang harus
ditanggung pemilik, ketidakleluasaan pengendalian manajemen perusahaan dan masih
banyak lagi hal penting yang perlu dicermati pemilik badan usaha. Dalam bahasan
ini ada tiga pilihan, yaitu
1. Perseorangan
(Sole Proprietorship),
Perusahaan yang dimiliki seorang pemilik. Ada 4 (empat)
sifat yang harus diperhatikan :
û Pemilik tunggal (Single owner).
û Menanggung seluruh tanggung jawab.
û Menghasilkan kurang 10 % dari seluruh
penghasilan perusahaan.
Keuntungan
|
K e r u g i a n
|
Mendapatkan
semua profit.
|
Menanggung
semua kerugian
|
Kemudahan
formasi.
|
Kewajiban
tidak terbatas.
|
Kontrol
penuh.
|
Keterbatasan
keuangan.
|
Pajak
lebih rendah.
|
Keterbatasan
skill
|
2. Persekutuan
(Partnership),
Keuntungan
|
K e r u g i a n
|
Kerugian
dibagi
|
Hutang
tidak terbatas.
|
Spesialisasi
|
Pendanaan Kontrol dibagi
|
Keuntungan
dibagi.
|
Jenis-jenis persekutuan
(Type Partnership)
û Sekutu Umum (General Partnership)
a. Sekutu kerja menjalankan bisnis
sehari-hari.
b. Sekutu kerja mempunyai tanggungjawab tanpa batas.
û Sekutu Komandite (Limited Partnership)
a. Sekutu komanditer hanya menanam
modal dalam bisnis.
b. Sekutu komanditer adalah hanya dapat dikenakan
kewajiban sampai kepada jumlah yang mereka menginvestasikan
3. Korporasi
(Corporation)
Karakteristik perseroan (Characteristic
of corporation)
û Piagam Perseroan (Corporate charter.)
û Penetapan anggaran rumah tangga
(Establishment of by laws).
û Pemegang saham (Stockholders).
û Dewan direktur (Board of directors).
û Perseroan swasta vs Publik
û Dipegang Swasta (Privately Held)
Cirinya :
û Korporasi yang secara pribadi dipegang
kepemilikan terbatas ke kelompok kecil investor.
û Saham tidaklah diperdagangkan didepan
umum.
û Dipegang Publik (Publicly Held)
§ Korporasi lebih besar.
§ Saham diperdagangkan didepan umum.
§ Tindakan pada awalnya mengeluarkan
bursa/stock: “ menawarkan saham pada Publik
Keuntungan
|
K e r u g i a n
|
Keterbatasan
kewajiban
|
Pajak
lebih banyak
|
Transfer
kepemilikan
|
Pengungkapan
keuangan
|
Kompleksitas
problem
|
6 . Ownership vs Leadership
Berdasarkan bahasan-bahasan diatas, kita dapat mengetahui kelebihan dan
kekurangan berbagai macam bentuk perusahaan dengan berbagai permasalahan yang
ditunjukkan pula dengan bermacam-macam hasil survey statistik yang ada, baik di
Indonesia maupun di Amerika. Kemudian, kita sampai pada pokok permasalahan yang
ada yaitu Ownership or Leadership?
Sangat dimungkinkan maju atau mundurnya perusahaan dipengaruhi manajernya.
Pertanyaannya, apakah seorang manajer diharuskan menjadi pemilik? Atau
klisenya, mampukah seorang pemilik menjadi manajer dan pemilik sekaligus? Semua
itu tergantung dari berbagai situasi,kondisi, tren, dan bentuk perusahaan
tersebut. Kondisi dan situasi dapat mempengaruhi atmosfer internal dan
eksternal perusahaan baik langsung maupun tidak langsung. Disinilah kemapuan
manajerial seorang manajer diuji. Baik itu seorang manajer yang juga pemilik,
atau hanya manajer sebagai pengelola perusahaan.
Untuk menentukan baik buruknya dua opsi tersebut, maka kita perlu melihat bentuk
perusahaan dan di bidang apakah perusahaan itu bergerak. Namun, mungkin faktor
kedua ini perlu dikesampingkan karena dalam tulisan ini, kita lebih berfokus ke
faktor pertama. Telah disebutkan diatas adanya berbagai bentuk perusahaan,
mulai perseorangan, partnership maupun korporasi.
6 . 1 Perseorangan
Secara umum, perusahaan perseorangan dimiliki satu orang saja. Si Pemilik,
cenderung pula pengelola penuh perusahaan, yang benar-benar terjun penuh
sebagai kontrol utama perusahaan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya,
keuntungan dan kerugiannya merupakan sebuah konsekuensi yang secara diatas
kertas hanya bisa ditanggung satu orang saja tanpa ada pihak yang boleh
mencampuri. Namun, prakteknya belum tentu demikian. Praktek dalam perusahaan
kecil dapat dijadikan contoh. Memang secara diatas kertas, perusahaan ini hanya
dimiliki oleh satu orang, tetapi yang terlibat di dalam operasionalnya belum
tentu hanya Si Pemilik saja. Sehingga tidak menutup kemungkinan ada sebuah
situasi dimana Si Pemilik memberikan kuasa pengelolaannya kepada orang lain
untuk mengoperasikan maupun mengelola perusahaannya. Karena perusahaannya
berbentuk perseorangan, biasanya jangkauannya tidak terlalu luas dan pihak yang
ditunjuk sebagai pengelola biasanya (pula) merupakan kerabat dekat pemilik atau
bahkan putranya sendiri. Keuntungan dan kerugian kondisi seperti ini sama
dengan kondisi yang ada dalam family business yang telah dibahas sebelumnya.
(Dapat dibaca kembali diatas).
Apabila ada kondisi perusahaan dikelola oleh orang yang bukan kerabat, maka
dapat dimungkinkan terjadi berbagai penyimpangan karena orang yang diberi kuasa
tersebut bukan merupakan orang dalam. Sehingga dikhawatirkan adanya
pengkhianatan yang menjurus kudeta perusahaan secara frontal maupun halus.
Contoh perusahaan yang dimiliki oleh orang lain yang bukan anggota keluarga
pemilik perusahaan adalah Jawa Pos Group. Awalnya perusahaan ini hanya dimiliki
oleh seorang pria tiong hoa yang bernama Chung Shen alias Suseno Tejo dengan
nama Djawa Post yang didirikan dan pertama kali terbit 1 Juli
1949Seperti air laut, bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar juga
mengalami pasang surut. Akhir 1970-an Jawa Pos mengalami kemerosotan yang
tajam. Tahun 1982, oplahnya tinggal 6800 eksemplar. Koran-korannya yang lain
sudah lebih dulu mati. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen
memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus
perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London.
Pada usia ke-85, beliau pun wafat di tahun 1989. Di tahun 1982, Eric FH Samola
yang ketika itu menjabat Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit Majalah Tempo)
mengambil alih Jawa Pos yang kemudian meletakkan dasar-dasar manajemen baru
Jawa Pos. Akhirnya dia memilih Dahlan Iskan, Kepala Biro Tempo di Surabaya
untuk menjalankan ide-idenya itu untuk memimpin Jawa Pos. Tahun 1990 Eric
Samola menderita sakit yang amat panjang dan akhirnya meninggal dunia di tahun
2000. Dahlan Iskan pun hanya menyebut Eric Samola sebagai pembimbing atau sudah
seperti ayahnya. Tidak disebutkan mengapa Jawa Pos akhirnya dimiliki penuh oleh
Dahlan Iskan saat ini yang pastinya akan diwarisi oleh Sang Putra Mahkota,
Azrul Ananda yang juga memiliki bakat tidak kalah dari ayahnya dan sudah siap
dan dipersiapkan untuk menerima tampuk perusahaan koran terbesar di jawa Timur
tersebut.
Kesimpulannya, tidak harus seorang pemilik perusahaan perseorangan menjadi
pengelola perusahaannya, seperti kasus Jawa Pos yang mampu lebih berkembang di
tangan orang yang bukan pemilik perusahaan (awalnya). Memang kita tetap harus
waspada adanya kemungkinhan kudeta perusahaan, karena itu perlu adanya
pemilihan personal yang cermat dan terpercaya sehingga tidak terjadi
pengkhianatan dan sejenisnya, namun juga membawa kemajuan perusahaan.
6 . 2 Partnership
Dalam partnership, diharapkan terjadi kerjasama yang solid antara
orang-orang yang ada di dalamnya. Terdapat 2 jenis pihak
yang biasa disebut sekutu, yaitu sekutu aktif dan sekutu pasif. Sekurtu
aktif adalah pihak yang menjalankan dan mengelola perusahaan. Oparasional.
Kemajuan dan kemunduran perusahaan adalah tanggung jawab sekutu ini. Dialah
yang menjadi motor perusahaan, tanpanya perusahaan tidak dapat berjalan.
Di sisi lain, terdapat sekutu pasif yang merupakan pihak yang hanya
menanamkan modalnya, dengan prosentase kepemilikan berdasarkan besar kecilnya
modal yang ditanam. Namun, sekutunpasif secara penuh tidak boleh turut campu
dalam operasional perusahaan. Bila sekutu ini masih saja mengikuti kepentingan,
maka terjadi adanya perpindahan status dari sekutu pasif menjadi sekutu aktif
dan perusahaan akhirnya tidak memiliki sekutu pasif lagi.
Karena adanya perbedaan kepentingan dan posisi, tidak menutup kemungkinan
terjadi miskomunikasi yang mengakibatkan adanya salah informasi dan
kesalahpahaman. Namun, dengan adanya pembagian posisi dan komunikasi yang
efektif, dapat dimungkinakan terjadi spesialisasi dan pembagian kerja yang
lebih spesifik, dan mengurangi percampuran keterlibatan dan percampuran
kepentingan.
Apabila terjadi komunikasi yang efktif dan tepat, maka perbedaan posisi
baik antara sekutu aktif dan sekutu pasif dapat dimaksimalkan. Bukan merupakan
masalah bila bukan pemilik yang mengelola perusahaan. Namun, apabila antara
sekutu aktif dan sekutu pasif tidak menjalin komunikasi dan kerjasama yang
solid, maka menjadi semakin sulit. Karena dapat terjadi kesalah pahaman antara
pihak penanam modal dengan pengelola perusahaan.
Maka dari itu sekutu aktif harus mampu meyakinkan sekutu pasif untuk tetap
menanamkan modalnya di perusahaan dan menjamin bahwa modal yang mereka tanamkan
akan bermanfaat dengan tingkat profitabilitas yang tinggi. Sedangkan sekutu
pasif perlu adanya kepercayaan yang tinggi terhadap sekutu aktif sebagai pihak
pengelola perusahaan.
6 . 3 . Korporasi
Sangat banyak pihak yang terlibat dalam korporasi, dimana jenis perusahaan
ini adalah bentuk perusahaan yang paling komplek diantara dua bentuk perusahaan
sebelumnya. Korporasi mirip dengan pertnership yang menggunakan kepemilikan
penanaman modal sebagai prosentasi kepemilikan perusahaan. Pengendalian
sepenuhnya dimiliki oleh pihak pemegang saham terbesar. Semakin besar
prosentase kempimilikannya, maka semakin besar kekuasaaannya pada perusahaan.
Apabila orang yang memiliki perusahaan sejak awal memiliki saham paling
besar dan memiliki integritas dan kredibilitas seorang pemimpin dan manajer
yang mampu meningkatkan kompetensi perusahaan, hal itu sah-sah saja. Namun
sebaliknya bila seseorang yang memiliki perusahaan dan tidak menjadi pengelola
perusahaan secara langsung dengan melimpahkan wewenangnya pada orang lain yang
ditunjuknya ada dua kemungkinan. Apabila orang tersebut mampu memimpin dan
mengelola perusahaan dengan baik maka perusahaan akan tetap aman dari tangan
orang luar. Tetapi apabila orang tersebut adalah orang yang kurang mampu atau
bahkan bermoral kurang benar maka dikhawatirkan terjadi penipuan yang dapat
mengakibatkan tersingkirnya Sang pamilik sebagai penguasa utama dan mungkin
adalah kebangkrtan perusahaan.
Maka dari itu, untuk menghindarkan dari berbagai macam penipuan yang
dilakukan para pengelola, terdapat ciri yang khusus yang membedakan bentuk perusahaan
ini dengan kedua bentuk sebelumnya yaitu adanya pemberitaan keuangan secara
transparan dimana semua pihak boleh mengetahuinya. Dengan demikian terdapat
transparansi keuangan maupun hasil kinerja para pengelola yang dapat membantu
para investor dan pihak penanam modal lain memilih perusahaan yang tepat untuk
menanamkan modalnya.
7 . Kesimpulan
Bisnis dan manajemen sulit untuk dipisahkan. Begitu pula dengan berbagai
kepentingan yang terlibat di dalamnya. Ownership maupun Leadership merupakan
pilihan setiap perusahaan dan para pemiliknya demi kelangsungannya di masa
mendatang. Semua juga tergantung arah dan tujuan perusahaan masing-masing.
Selain itu juga tidak dapat dilupakan adalah apabila pemimpin ingin melimpahkan
wewenangnya pada orang luar, mereka juga harus memperhatikan faktor integritas,
kredibilitas, dan moralitas pihak yang ditunjuknya untuk memegang tampuk
kekuasaan dalam perusahaannya.
0 komentar:
Posting Komentar