Pages

Senin, 15 Desember 2014

Tugas Komunikasi Bisnis : Stagnasi Peran Intermediasi Perbankan: Apakah Tingkat Suku Bunga SBI Turut Berperan?

Abstrak
Sebagai salah satu lembaga keuangan yang turut perperan sebagai agent of development, bank memiliki kewajiban untuk dapat melakukan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan baik. Namun  pada kenyataaannya, saat ini di Indonesia, bank-bank masih belum dapat melakukan peran intermediasinya dengan baik. Banyak aset produkstif bank yang mengendap dalam obligasi-obligasi pemerintah dan SBI. Seretnya peran intermediasi bank ini tidak hanya disebabkan oleh banyaknya aset produktif perbankan yang diinvestasikan dalam SBI dan obligasi-obligasi pemerintah, namun masyarakat sendiri masih kurang tertarik untuk melakukan pinjaman kepada bank karena tingkat suku bunga yang masih dirasa tinggi. Melihat fenomena tersebut, bagaimana tingkat suku bunga SBI turut berperan dalam stagnasi peran intermediasi perbankan? Mengingat banyaknya aset produktif dari bank yang diinvestasikan pada SBI. Hal ini membuat image bank berubah. Banyak kritikan ditujukan kepada sektor perbankan karena dianggap tidak mampu menyalurkan kredit sesuai yang diharapkan kalangan pengusaha. Kritikan pedas terhadap intermediasi perbankan muncul ditengah-tengah turunnya suku bunga SBI yang telah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir, khususnya setelah suku bunga SBI menyentuh angka keramat dibawah 10%. Jumlah  peningkatan pemberian kredit investasi yang tidak mengalami kenaikan sebanyak peningkatan kredit konsumsi dan kredit modal kerja membuat banyak kalangan menilai bahwa intermediasi perbankan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan suku bunga kredit dianggap masih tinggi.

Kata Kunci: Intermediasi, Perbankan, SBI, Indonesia.


I.       Pendahuluan

Banyak literatur yang menyebutkan bahwa tugas utama sebuah bank adalah sebagai perantara kredit. Hal ini didukung oleh Simorangkir (2000: 9) yang mendefinisikan bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Pendapat tersebut memberi arti bahwa sebagai pemberi jasa dalam hal lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, bank harus dapat menjalankan peran intermediasinya dengan baik.

Namun, seperti kebanyakan negara berkembang lainnya, peran intermediasi di masyakat masih belum dapat terlaksana dengan baik. Hal ini mengimplikasikan bahwa banyak bank-bank yang ada di negara berkembang lebih mengacu pada profit oriented, bukan sebagai lembaga intermediasi di bidang keuangan. Hal ini dikuatkan oleh pendapat dari Djanarko (2002) yang menganalisis bahwa peran intermediasi bank saat ini telah sangat berkurang karena berdasarkan penelitiannya hampir 43% aset dari bank diinvestasikan pada SBI dan sebagian obligasi pemerintah sedangkan kredit yang disalurkan kepada masyarakat hanya sekitar 37%.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang seharusnya mulai melakukan perbaikan dalam mengelola sistem perbankannya. Penggiatan atas pinjaman-pinjaman bank yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan produktif harus mulai dipikirkan. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk membahas peran intermediasi bank-bank di Indonesia dan penyebab-penyebab seretnya peran intermediasi perbankan akhir-akhir ini. Ada pun kerangka berfikir dari studi ini sebagai berikut: bagian kedua meninjau seberapa besar peran intermediasi yang telah dilakukan oleh bank-bank di Indonesia melalui perbandingan antara jumlah kredit yang telah disalurkan dengan jumlah dana yang berhasil dihimpun. Pada bagian ketiga akan dipaparkan mengenai perilaku maksimasi laba yang dilakukan oleh sektor perbankan. Selanjutnya, pada bagian keempat akan mendiskusikan penyebab penurunan peran intermediasi bank serta langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah. Dan kesimpulan akan disajikan pada bagian terakhir studi ini.

2.      Jumlah Kredit yang Disalurkan oleh Perbankan dan Jumlah dana yang Berhasil dihimpun Perbankan Periode Tahun 2004 – 2006

Minimnya jumlah kredit yang disalurkan perbankan kepada masyarakat bukan berarti penurunan persentase jumlah kredit yang disalurkan oleh bank. Berikut akan ditampilkan grafik yang menunjukkan gap antara jumlah dana yang dihimpun perbankan dengan jumlah kredit yang disalurkannya:

Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada periode Januari 2004 – Mei 2005 gap antara jumlah kredit yang disalurkan sektor perbankan kepada masyarakat cukup besar. Gap tersebut mengimplikasikan banyaknya dana yang menganggur di sektor perbankan (idle fund). Dikarenakan banyaknya jumlah idle fund[1] itulah dana yang berhasil dihimpun bank dari masyarakat kemudian banyak diinvestasikan pada SBI dan obligasi-obligasi pemerintah yang dianggap risk free rate.

Namun, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bukan berarti bahwa jumlah kredit yang disalurkan oleh bank kepada masyarakat berkurang. Selama periode Januari 2004 – Mei 2005 dapat dilihat peningkatan dalam jumlah pemberian kredit. Sayangnya, kenaikan jumlah kredit tersebut lebih didominasi oleh kenaikan pada kredit modal kerja dan kredit konsumsi (Hartati: 2005). Lebih lanjut, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartati (2005), kredit modal kerja yang disalurkan pada bulan Mei 2005 mencapai Rp 311,74 triliun atau meningkat 4,33%. Disusul dengan kredit konsumsi yang juga meningkat sebanyak Rp 6,13 triliun (3,66%) dari Rp 167,5 triliun menjadi RP 173,63 triliun. Sementara kredit investasi hanya meningkat Rp 2,44 triliun (2,01%) dari Rp 121,52 triliun menjadi Rp 123,96 triliun. Dengan tidak adanya investasi baru, artinya jumlah tambahan kesempatan kerja yang diciptakan juga sangat minim.



Sumber: Kamar Dagang dan Indsustri Indonesia
 
 


Dari grafik di atas, secara ekspilisit dapat dilihat bahwa trend suku bunga SBI mulai bulan Januari 2006 cenderung mengalami penurunan. Penurunan tingkat suku bunga SBI terus dilakukan pemerintah sampai pada tahun 2007 yang sekarang telah mencapai 8,5%. Penurunan ini dilakukan untuk menggiatkan kembali permintaan kredit investasi oleh para pelaku bisnis dan sekaligus untuk memperbaiki kinerja perbankan sebagai lembaga intermediasi keuangan. Seiring dengan hal inilah, pada akhir tahun 2006 bank-bank umum mulai menurunkan suku bunga kreditnya. Sayangnya penurunan ini hanya dialami oleh kredit modal kerja, sedangkan suku bunga kredit investasi dan kredit konsumsi justru mengalami kenaikan.

Seretnya peran intermediasi perbankan inilah yang membuat pemerintah di awal tahun 2004 sampai akhir tahun 2005 terus menaikkan suku bunga SBI. Keadaan bank yang over liquid membuat pemerintah harus turun tangan dalam menyerap ekses likuiditas yang di perbankan yang masih relatif besar. Namun, melihat kecenderungan bank-bank umum yang kemudian lebih suka menyimpan aset-aset produktifnya di SBIlah yang membuat Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga SBI mulai dari awal tahun 2006 sampai sekarang.

Namun, usaha BI yang secara bertahap terus menerus berusaha menerapkan kebijakan penurunan suku bunga nampaknya kurang berhasil. Perbankan masih lebih suka menyimpan dananya dalam bentuk SBI daripada menyalurkannya ke sektor riil. Djanarko (2002) mengungkapkan bahwa, pada akhir tahun 2006, pertumbuhan kredit perbankan hanya 10,7 persen, terkecil dalam lima tahun terakhir, dengan nilai nominal Rp 78,2 triliun. Di sisi lain, minat perbankan untuk menyimpan dananya dalam bentuk SBI terus mengalami peningkatan. Sampai akhir 2006, dana perbankan yang disimpan dalam bentuk SBI outstanding sudah lebih dari Rp 202 triliun, meningkat dengan pesat dari sekitar Rp 72 triliun pada akhir 2005.

3.      Perilaku Maksimasi Laba Oleh Sektor Perbankan

Berdasarkan analisis regresi yang telah dilakukan oleh Alejandro dan Ugo (2006), dapat disimpulkan bahwa bank-bank umum lebih cenderung menghindari risiko. Akibatnya bank-bank umum cenderung mengurangi jumlah kredit yang dipinjamkan pada saat perekonomian sedang menuju ke masa ekspansi. Hal ini dapat dilihat jelas, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Bank-bank umum cenderung kurang responsif terhadap perubahan perekonomian dalam skala makro dan lebih ke arah profit-oriented, sehingga melupakan tugas sosial mereka sebagai penyedia jasa layanan kredit.

Pendapat Alejandro dan Ugo di atas juga dikuatkan oleh Nuryakin dan Warjiyo (2006) dalam penelitiannya yang menghasilkan kesimpulan bahwa bank juga termasuk industri yang berperilaku maksimasi laba. Kecenderungan ini, terdapat pada hampir semua bank di Indonesia. Perilaku ini didukung oleh peraturan dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa pemberian KUK oleh bank diserahkan kepada kebijakan atau kemampuan tiap bank (Peraturan Bank Indonesia no. 3/2/PBI/2001). Alhasil, setelah dikeluarkannya kebijakan ini, bank lebih cenderung untuk melakukan investasi-investasi portofolio dan investasi SBI daripada memberikan kredit untuk menunjang sektor-sektor riil.

Kecenderungan yang dilakukan oleh bank-bank umum untuk menyimpan asetnya pada SBI dan obligasi pemerintah bukanlah tanpa alasan. Tingginya pendapatan yang didapat oleh bank dari penanaman investasi pada SBI dan obligasi pemerintah yang hampir menyamai penerimaan dari pemberian jasa kredit oleh bank, membuat bank-bank umum lebih memilih untuk menginvestasikan dananya pada SBI dan obligasi pemerintah. Alasan lain yang membuat bank-bank umum memiliki preferensi untuk menanamkan asetnya pada SBI dan obligasi pemerintah adalah jaminan free-risk yang akan didapatkan oleh bank-bank umum ketika mereka menanamkan modalnya pada SBI dan obligasi pemerintah. SBI yang notabene merupakan investasi bebas risiko merupakan salah satu pilihan aman untuk berinvestasi dalam iklim bisnis yang masih tidak stabil. Inilah sebabnya mengapa bank sampai saat ini masih menetapkan suku bunga yang tinggi untuk penyaluran kreditnya kepada masyarakat.

4.      Penyebab Berkurangnya Peran Intermediasi Perbankan serta Langkah-Langkah yang Dilakukan oleh Pemerintah

Telaah lebih lanjut mengungkapkan bahwa, berkurangnya peran intermediasi perbankan tidak terlepas dari perilaku sektor riil. Lemahnya permintaan kredit dari sektor riil juga merupakan salah satu penyebab melemahnya peran intermediasi perbankan. Iklim bisnis yang kurang kondusif membuat para pengusaha harus berpikir dua kali untuk melakukan pinjaman kepada bank, karena tingkat suku bunga bank yang masih dianggap cukup tinggi. Perilaku ini membuat bank harus melakukan alternatif investasi lain yang dianggap dapat menambah pendapatan dari bank tersebut. Dan salah satu alternatif yang diberikan oleh BI untuk menyerap ekses likuiditas dalam sektor perbankan adalah melalui SBI.

Argumen perbankan yang menyatakan bahwa turunnya kemampuan mereka dalam menyalurkan kredit disebabkan oleh melemahnya permintaan kredit dari sektor riil tidak sepenuhnya dapat diterima, kerena jika dikaitkan dengan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), alasan bahwa sisi permintaan yang menjadi penyebab utama turunnya kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit, masih harus dipertanyakan. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997, peran UMKM dalam perekonomian Indonesia terus mengalami peningkatan. Ini terjadi karena UMKM lebih mampu beradaptasi dan menyiasati gejolak perekonomian. Dalam kaitan dengan UMKM, sisi penawaran dalam bentuk terbatasnya pengetahuan perbankan mengenai struktur, karakteristik, dinamika, dan economic feasibility UMKM, tampaknya menjadi penyebab mengapa perbankan membatasi penyaluran kreditnya ke UMKM. UMKM juga sering diasosiasikan sebagai pelaku ekonomi yang sulit memenuhi persyaratan administrasi dan tidak mempunyai pengalaman untuk mengelola kredit. Karenanya, di mata perbankan, menyalurkan kredit ke UMKM hanya akan meningkatkan risiko kredit macet (Adam: 2007).

Meskipun permintaan kredit yang dilakukan oleh UMKM telah cukup besar, namun bank-bank umum lebih memilih bermain secara safe. Resiko akan kredit macet merupakan salah satu faktor utama yang membuat bank lebih memilih untuk menginvestasikan dananya di SBI. Akibatnya, permintaan kredit yang dilakukan oleh UMKM-UMKM tersebut hanya akan terserap oleh BPR-BPR di wilayah setempat, padahal secara eksplisit dapat dilihat bahwa DPK[2] yang berhasil dihimpun oleh BPR tidak sebanyak DPK yang berhasil dihimpun oleh bank-bank umum.

Perilaku bank-bank umum yang cenderung menginvestasikan ekses likuiditasnya di dalam SBI juga akan berpengaruh kepada performa ekonomi secara makro. Kebijakan moneter yang dilakukan untuk mengerem laju inflasi dan nilai tukar rupiah melalui instrumen SBI tidak akan membuat produktivitas masyarakat mengalami kenaikan. Salah satu bukti riil terjadi pada bulan April 2005 dimana suku bunga SBI mengalami kenaikan dari 7,53% menjadi 7,7% dan efek yang disebabkan adalah anjloknya indeks gabungan saham di Bursa Efek Jakarta sebesar 23,142 poin, dan nilai tukar rupiah turun 85 poin (Sudjana: 2005).

Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggapi peran intermediasi bank yang semakin berkurang adalah dengan moral suassion. Moral suassion yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan himbauan kepada bank-bank umum untuk turut serta dalam memajukan perekonomian Indonesia dengan kembali menggiatkan aktivitas kreditnya khususnya kredit investasi.

Moral suassion ini, selain untuk menggiatkan fungsi intermediasi bank, juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap produktivitas masyarakat. Dengan adanya peningkatan yang dilakukan oleh bank dalam memberikan kredit investasi, maka para pengusaha meningkatkan produktivitasnya melalui pendirian-pendirian usaha baru. Selanjutnya, usaha-usaha baru tersebut akan menyerap tenaga kerja menganggur yang ada di Indonesia.

5.      Kesimpulan

Penurunan peran intermediasi bank yang terjadi selama tahun 2004 – 2006 terbukti dengan gap yang masih cukup besar antara DPK yang berhasil dihimpun dengan jumlah kredit yang disalurkan kepada masyarakat. Ekses likuiditas yang disebabkan oleh gap itulah yang lantas membuat bank-bank umum mengalihkan aset-aset produktifnya kepada SBI dan obligasi pemerintah. Usaha awal pemerintah yang dimaksudkan untuk menyerap ekses likuiditas ini ternyata menimbulkan dampak pada berkurangnya peran intermediasi yang dilakukan oleh perbankan. Bank lebih cenderung untuk menginvestasikan DPK yang berhasil dihimpunnya untuk kemudian diinvestasikan pada SBI dan obligasi-obligasi lain yang diterbitkan oleh pemerintah. Argumen bank yang menyatakan bahwa hal lain yang menyebabkan peran intermediasinya berkurang dianggap kurang relevan karena jika dikaitkan dengan peningkatan jumlah UMKM yang memerlukan kucuran dana kredit, maka alasan tersebut masih perlu dipertanyakan. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan moral suassion yang ditujukan untuk kembali menggiatkan penyaluran kredit investasi oleh bank-bank umum. Himbauan ini diharapkan dapat kembali menggiatkan fungsi intermediasi perbankan dan membuat dunia perbankan mulai melirik UMKM sebagai debitur potensial.

Refrensi
Adam, L., ‘Kemitraan Perbankan, Sebuah Alternatif’, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Bisnis-Indonesia, Februari 2007,. [dikutib 17 Mei 2007] Tersedia di internet <URL:httpwww.bapekki.go.id>

Astiyah, S. & Husman, A. J., ‘Fungsi Intermediasi dalam Efisiensi Perbankan di Indonesia: Derivasi Fungsi Profit’, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 2006, Working paper n.3: 13-4.

Djanarko, ‘Kinerja Perbankan Belum Membaik’, Kompas Ekonomi, 12 Febuari 2002: 15

Gustari, I., ‘Meratapi Peran Intermediasi Bank’, Infobanknews.com, Info Bank, 27 Agustus 2003, [dikutib 17 Mei 2007] Tersedia di internet <URL:http://www.infobanknews.com/analisis strategi perbankan dan keuangan.htm>

Hartati, Sri, E., ‘Perkembangan Indikator Ekonomi dan Bisnis Indonesia Triwulan II 2005 dan Kecenderungan Pada Triwulan III 2005’, Bisnis dan Ekonomi Politik , vol. 6, no. 1: 94-5

Hidayat, K., ‘Suku Bunga Kredit Naik, Intermediasi Bank Kembali Seret’, Sinar Harapan News, Keuangan 1, 2003, [dikutib 17 Mei 2007] Tersedia di internet <URL:http://sinarharapan..com/keu1.htm>

Micco, A. & Panizza, U., 2006, ‘Bank Ownership and Lending Behaviour,’ Repec, Working paper n. 67: 2-5

Nuryakin, C. & Warjiyo, P., ‘Perilaku Penawaran Kredit Bank di Indonesia: Kasus Pasar Oligopoli periode Januari 2001 – Juli 2005’, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 2006, Working paper n. 2: 2-5

Simorangkir, O. P. Drs., 2000, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia      
          Indonesia, Bogor.

Sudjana, A.,’Mencermati Kinerja Perbankan Kita’, Pikiran Rakyat, [dikutib 26 Juni 2007] Tersedia di Internet <URL: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/23/mencermati_kinerja_perbankan_kita.htm>

Winarno, Sigit, S.E. & Ismaya, Sujana, S.E., 2003, ‘Kamus Besar Ekonomi’, CV Pustaka Grafika, Bandung.

Zetha, E. & Tabunan, Tulus, DR., ‘Laporan Ekonomi Bulanan Oktober 2006’, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, [dikutib 26 Juni 2007] Tersedia di internet <URL:http://www.kadin-indonesia.or.id>



* Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Jl. Airlangga no. 4 Surabaya
[1] uang menganggur atau uang yang belum digunakan, misalnya karena kelebihan alat-alat likuid dalam suatu bank (Winarno: 2003, 250)
[2] Dana Pihak Ketiga

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Ini adalah aneka tugas kuliah yang saya kerjakan dan saya dapatkan saat kuliah Manajemen tahun 2006 hingga lulus. Hampir sepuluh tahun yang lalu. Koreksilah dahulu, cocokkan dulu dengan bahasannya dan jangan asal kopi-paste, karena bisa saja edisi bukunya berbeda sehingga soal-soalnya berbeda dan akhirnya jawabannya juga berbeda. Adanya gini, jangan minta lebih. Kalau mau perfect ya kerjakan sendiri. Tugas-tugas saya ini hanya sebagai penunjang yang fungsinya supporting, bukan sebagai tulang punggungnya. Gunakan dengan bijak, semoga bermanfaat.

About