Abstrak
Sebagai salah
satu lembaga keuangan yang turut perperan sebagai agent of development, bank memiliki kewajiban untuk dapat melakukan
perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan baik. Namun pada kenyataaannya, saat ini di Indonesia,
bank-bank masih belum dapat melakukan peran intermediasinya dengan baik. Banyak
aset produkstif bank yang mengendap dalam obligasi-obligasi pemerintah dan SBI.
Seretnya peran intermediasi bank ini
tidak hanya disebabkan oleh banyaknya aset produktif perbankan yang
diinvestasikan dalam SBI dan obligasi-obligasi pemerintah, namun masyarakat
sendiri masih kurang tertarik untuk melakukan pinjaman kepada bank karena
tingkat suku bunga yang masih dirasa tinggi. Melihat fenomena tersebut, bagaimana
tingkat suku bunga SBI turut berperan dalam stagnasi peran intermediasi
perbankan? Mengingat banyaknya aset produktif dari bank yang diinvestasikan
pada SBI. Hal ini membuat image bank berubah. Banyak kritikan ditujukan kepada
sektor perbankan karena dianggap tidak mampu menyalurkan kredit sesuai yang
diharapkan kalangan pengusaha. Kritikan
pedas terhadap intermediasi perbankan muncul ditengah-tengah turunnya suku
bunga SBI yang telah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir, khususnya setelah
suku bunga SBI menyentuh angka keramat dibawah 10%. Jumlah peningkatan pemberian kredit investasi yang
tidak mengalami kenaikan sebanyak peningkatan kredit konsumsi dan kredit modal
kerja membuat banyak kalangan menilai bahwa intermediasi perbankan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan suku bunga kredit dianggap masih
tinggi.
Kata Kunci: Intermediasi, Perbankan, SBI, Indonesia.
I.
Pendahuluan
Banyak literatur yang menyebutkan bahwa tugas
utama sebuah bank adalah sebagai perantara kredit. Hal ini didukung oleh
Simorangkir (2000: 9) yang mendefinisikan bank sebagai lembaga keuangan yang
usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang. Pendapat tersebut memberi
arti bahwa sebagai pemberi jasa dalam hal lalu lintas pembayaran dan peredaran
uang, bank harus dapat menjalankan peran intermediasinya dengan baik.
Namun, seperti kebanyakan negara berkembang
lainnya, peran intermediasi di masyakat masih belum dapat terlaksana dengan
baik. Hal ini mengimplikasikan bahwa banyak bank-bank yang ada di negara
berkembang lebih mengacu pada profit
oriented, bukan sebagai lembaga intermediasi di bidang keuangan. Hal ini
dikuatkan oleh pendapat dari Djanarko (2002) yang menganalisis bahwa peran
intermediasi bank saat ini telah sangat berkurang karena berdasarkan
penelitiannya hampir 43% aset dari bank diinvestasikan pada SBI dan sebagian
obligasi pemerintah sedangkan kredit yang disalurkan kepada masyarakat hanya
sekitar 37%.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang
seharusnya mulai melakukan perbaikan dalam mengelola sistem perbankannya.
Penggiatan atas pinjaman-pinjaman bank yang dialokasikan untuk
kegiatan-kegiatan produktif harus mulai dipikirkan. Oleh karena itu, studi ini
bertujuan untuk membahas peran intermediasi bank-bank di Indonesia dan
penyebab-penyebab seretnya peran
intermediasi perbankan akhir-akhir ini. Ada pun kerangka berfikir dari studi
ini sebagai berikut: bagian kedua meninjau seberapa besar peran intermediasi
yang telah dilakukan oleh bank-bank di Indonesia melalui perbandingan antara
jumlah kredit yang telah disalurkan dengan jumlah dana yang berhasil dihimpun. Pada
bagian ketiga akan dipaparkan mengenai perilaku maksimasi laba yang dilakukan
oleh sektor perbankan. Selanjutnya, pada bagian keempat akan mendiskusikan penyebab
penurunan peran intermediasi bank serta langkah-langkah yang dilakukan oleh
pemerintah. Dan kesimpulan akan disajikan pada bagian terakhir studi ini.
2.
Jumlah Kredit yang Disalurkan
oleh Perbankan dan Jumlah dana yang Berhasil dihimpun Perbankan Periode Tahun
2004 – 2006
Minimnya jumlah kredit yang disalurkan
perbankan kepada masyarakat bukan berarti penurunan persentase jumlah kredit yang
disalurkan oleh bank. Berikut akan ditampilkan grafik yang menunjukkan gap
antara jumlah dana yang dihimpun perbankan dengan jumlah kredit yang
disalurkannya:
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa pada
periode Januari 2004 – Mei 2005 gap antara jumlah kredit yang disalurkan sektor
perbankan kepada masyarakat cukup besar. Gap tersebut mengimplikasikan
banyaknya dana yang menganggur di sektor perbankan (idle fund). Dikarenakan banyaknya jumlah idle fund
itulah dana yang berhasil dihimpun bank dari masyarakat kemudian banyak
diinvestasikan pada SBI dan obligasi-obligasi pemerintah yang dianggap risk free rate.
Namun, seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya, bukan berarti bahwa jumlah kredit yang disalurkan
oleh bank kepada masyarakat berkurang. Selama periode Januari 2004 – Mei 2005
dapat dilihat peningkatan dalam jumlah pemberian kredit. Sayangnya, kenaikan jumlah
kredit tersebut lebih didominasi oleh kenaikan pada kredit modal kerja dan
kredit konsumsi (Hartati: 2005). Lebih lanjut, menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hartati (2005), kredit modal kerja yang disalurkan pada bulan
Mei 2005 mencapai Rp 311,74 triliun atau meningkat 4,33%. Disusul dengan kredit
konsumsi yang juga meningkat sebanyak Rp 6,13 triliun (3,66%) dari Rp 167,5
triliun menjadi RP 173,63 triliun. Sementara kredit investasi hanya meningkat
Rp 2,44 triliun (2,01%) dari Rp 121,52 triliun menjadi Rp 123,96 triliun.
Dengan tidak adanya investasi baru, artinya jumlah tambahan kesempatan kerja
yang diciptakan juga sangat minim.
Sumber: Kamar Dagang dan Indsustri Indonesia
|
|
Dari grafik di atas, secara ekspilisit dapat
dilihat bahwa trend suku bunga SBI mulai bulan Januari 2006 cenderung mengalami
penurunan. Penurunan tingkat suku bunga SBI terus dilakukan pemerintah sampai
pada tahun 2007 yang sekarang telah mencapai 8,5%. Penurunan ini dilakukan untuk
menggiatkan kembali permintaan kredit investasi oleh para pelaku bisnis dan
sekaligus untuk memperbaiki kinerja perbankan sebagai lembaga intermediasi
keuangan. Seiring dengan hal inilah, pada akhir tahun 2006 bank-bank umum mulai
menurunkan suku bunga kreditnya. Sayangnya penurunan ini hanya dialami oleh
kredit modal kerja, sedangkan suku bunga kredit investasi dan kredit konsumsi
justru mengalami kenaikan.
Seretnya peran intermediasi perbankan inilah yang membuat pemerintah di awal
tahun 2004 sampai akhir tahun 2005 terus menaikkan suku bunga SBI. Keadaan bank
yang over liquid membuat pemerintah
harus turun tangan dalam menyerap ekses likuiditas yang di perbankan yang masih
relatif besar. Namun, melihat kecenderungan bank-bank umum yang kemudian lebih
suka menyimpan aset-aset produktifnya di SBIlah yang membuat Bank Indonesia
menurunkan tingkat suku bunga SBI mulai dari awal tahun 2006 sampai sekarang.
Namun, usaha BI yang secara bertahap terus
menerus berusaha menerapkan kebijakan penurunan suku bunga nampaknya kurang
berhasil. Perbankan masih lebih suka menyimpan dananya dalam bentuk SBI
daripada menyalurkannya ke sektor riil. Djanarko (2002) mengungkapkan bahwa,
pada akhir tahun 2006, pertumbuhan kredit perbankan hanya 10,7 persen, terkecil
dalam lima tahun terakhir, dengan nilai nominal Rp 78,2 triliun. Di sisi lain,
minat perbankan untuk menyimpan dananya dalam bentuk SBI terus mengalami
peningkatan. Sampai akhir 2006, dana perbankan yang disimpan dalam bentuk SBI
outstanding sudah lebih dari Rp 202 triliun, meningkat dengan pesat dari
sekitar Rp 72 triliun pada akhir 2005.
3.
Perilaku Maksimasi Laba Oleh
Sektor Perbankan
Berdasarkan analisis regresi yang telah
dilakukan oleh Alejandro dan Ugo (2006), dapat disimpulkan bahwa bank-bank umum
lebih cenderung menghindari risiko. Akibatnya bank-bank umum cenderung
mengurangi jumlah kredit yang dipinjamkan pada saat perekonomian sedang menuju
ke masa ekspansi. Hal ini dapat dilihat jelas, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang. Bank-bank umum cenderung kurang responsif terhadap perubahan
perekonomian dalam skala makro dan lebih ke arah profit-oriented, sehingga
melupakan tugas sosial mereka sebagai penyedia jasa layanan kredit.
Pendapat Alejandro dan Ugo di atas juga
dikuatkan oleh Nuryakin dan Warjiyo (2006) dalam penelitiannya yang
menghasilkan kesimpulan bahwa bank juga termasuk industri yang berperilaku maksimasi
laba. Kecenderungan ini, terdapat pada hampir semua bank di Indonesia. Perilaku
ini didukung oleh peraturan dari Bank Indonesia yang menyatakan bahwa pemberian
KUK oleh bank diserahkan kepada kebijakan atau kemampuan tiap bank (Peraturan
Bank Indonesia no. 3/2/PBI/2001). Alhasil, setelah dikeluarkannya kebijakan
ini, bank lebih cenderung untuk melakukan investasi-investasi portofolio dan
investasi SBI daripada memberikan kredit untuk menunjang sektor-sektor riil.
Kecenderungan yang dilakukan oleh bank-bank
umum untuk menyimpan asetnya pada SBI dan obligasi pemerintah bukanlah tanpa
alasan. Tingginya pendapatan yang didapat oleh bank dari penanaman investasi pada
SBI dan obligasi pemerintah yang hampir menyamai penerimaan dari pemberian jasa
kredit oleh bank, membuat bank-bank umum lebih memilih untuk menginvestasikan
dananya pada SBI dan obligasi pemerintah. Alasan lain yang membuat bank-bank
umum memiliki preferensi untuk menanamkan asetnya pada SBI dan obligasi
pemerintah adalah jaminan free-risk yang
akan didapatkan oleh bank-bank umum ketika mereka menanamkan modalnya pada SBI
dan obligasi pemerintah. SBI yang notabene merupakan investasi bebas risiko
merupakan salah satu pilihan aman untuk berinvestasi dalam iklim bisnis yang
masih tidak stabil. Inilah sebabnya mengapa bank sampai saat ini masih
menetapkan suku bunga yang tinggi untuk penyaluran kreditnya kepada masyarakat.
4.
Penyebab Berkurangnya Peran
Intermediasi Perbankan serta Langkah-Langkah yang Dilakukan oleh Pemerintah
Telaah lebih lanjut mengungkapkan bahwa,
berkurangnya peran intermediasi perbankan tidak terlepas dari perilaku sektor
riil. Lemahnya permintaan kredit dari sektor riil juga merupakan salah satu
penyebab melemahnya peran intermediasi perbankan. Iklim bisnis yang kurang
kondusif membuat para pengusaha harus berpikir dua kali untuk melakukan
pinjaman kepada bank, karena tingkat suku bunga bank yang masih dianggap cukup
tinggi. Perilaku ini membuat bank harus melakukan alternatif investasi lain
yang dianggap dapat menambah pendapatan dari bank tersebut. Dan salah satu
alternatif yang diberikan oleh BI untuk menyerap ekses likuiditas dalam sektor
perbankan adalah melalui SBI.
Argumen perbankan yang menyatakan bahwa
turunnya kemampuan mereka dalam menyalurkan kredit disebabkan oleh melemahnya
permintaan kredit dari sektor riil tidak sepenuhnya dapat diterima, kerena jika
dikaitkan dengan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), alasan bahwa sisi
permintaan yang menjadi penyebab utama turunnya kemampuan perbankan dalam
menyalurkan kredit, masih harus dipertanyakan. Beberapa penelitian menyimpulkan
bahwa sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997, peran UMKM dalam perekonomian
Indonesia terus mengalami peningkatan. Ini terjadi karena UMKM lebih mampu
beradaptasi dan menyiasati gejolak perekonomian. Dalam kaitan dengan UMKM, sisi
penawaran dalam bentuk terbatasnya pengetahuan perbankan mengenai struktur,
karakteristik, dinamika, dan economic
feasibility UMKM, tampaknya menjadi penyebab mengapa perbankan membatasi
penyaluran kreditnya ke UMKM. UMKM juga sering diasosiasikan sebagai pelaku
ekonomi yang sulit memenuhi persyaratan administrasi dan tidak mempunyai
pengalaman untuk mengelola kredit. Karenanya, di mata perbankan, menyalurkan
kredit ke UMKM hanya akan meningkatkan risiko kredit macet (Adam: 2007).
Meskipun permintaan kredit yang dilakukan oleh
UMKM telah cukup besar, namun bank-bank umum lebih memilih bermain secara safe. Resiko akan kredit macet merupakan
salah satu faktor utama yang membuat bank lebih memilih untuk menginvestasikan
dananya di SBI. Akibatnya, permintaan kredit yang dilakukan oleh UMKM-UMKM
tersebut hanya akan terserap oleh BPR-BPR di wilayah setempat, padahal secara
eksplisit dapat dilihat bahwa DPK
yang berhasil dihimpun oleh BPR tidak sebanyak DPK yang berhasil dihimpun oleh
bank-bank umum.
Perilaku bank-bank umum yang cenderung
menginvestasikan ekses likuiditasnya di dalam SBI juga akan berpengaruh kepada
performa ekonomi secara makro. Kebijakan moneter yang dilakukan untuk mengerem
laju inflasi dan nilai tukar rupiah melalui instrumen SBI tidak akan membuat
produktivitas masyarakat mengalami kenaikan. Salah satu bukti riil terjadi pada
bulan April 2005 dimana suku bunga SBI mengalami kenaikan dari 7,53% menjadi
7,7% dan efek yang disebabkan adalah anjloknya indeks gabungan saham di Bursa
Efek Jakarta sebesar 23,142 poin, dan nilai tukar rupiah turun 85 poin (Sudjana:
2005).
Salah satu langkah yang dilakukan oleh
pemerintah dalam menanggapi peran intermediasi bank yang semakin berkurang
adalah dengan moral suassion. Moral suassion yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dengan memberikan himbauan kepada bank-bank umum untuk turut
serta dalam memajukan perekonomian Indonesia dengan kembali menggiatkan
aktivitas kreditnya khususnya kredit investasi.
Moral
suassion ini, selain untuk menggiatkan fungsi
intermediasi bank, juga diharapkan akan memberikan efek positif terhadap
produktivitas masyarakat. Dengan adanya peningkatan yang dilakukan oleh bank
dalam memberikan kredit investasi, maka para pengusaha meningkatkan
produktivitasnya melalui pendirian-pendirian usaha baru. Selanjutnya,
usaha-usaha baru tersebut akan menyerap tenaga kerja menganggur yang ada di
Indonesia.
5.
Kesimpulan
Penurunan peran intermediasi bank yang terjadi
selama tahun 2004 – 2006 terbukti dengan gap yang masih cukup besar antara DPK
yang berhasil dihimpun dengan jumlah kredit yang disalurkan kepada masyarakat.
Ekses likuiditas yang disebabkan oleh gap itulah yang lantas membuat bank-bank
umum mengalihkan aset-aset produktifnya kepada SBI dan obligasi pemerintah.
Usaha awal pemerintah yang dimaksudkan untuk menyerap ekses likuiditas ini
ternyata menimbulkan dampak pada berkurangnya peran intermediasi yang dilakukan
oleh perbankan. Bank lebih cenderung untuk menginvestasikan DPK yang berhasil
dihimpunnya untuk kemudian diinvestasikan pada SBI dan obligasi-obligasi lain
yang diterbitkan oleh pemerintah. Argumen bank yang menyatakan bahwa hal lain
yang menyebabkan peran intermediasinya berkurang dianggap kurang relevan karena
jika dikaitkan dengan peningkatan jumlah UMKM yang memerlukan kucuran dana
kredit, maka alasan tersebut masih perlu dipertanyakan. Pemerintah kemudian
mengeluarkan kebijakan moral suassion
yang ditujukan untuk kembali menggiatkan penyaluran kredit investasi oleh
bank-bank umum. Himbauan ini diharapkan dapat kembali menggiatkan fungsi
intermediasi perbankan dan membuat dunia perbankan mulai melirik UMKM sebagai
debitur potensial.
Refrensi
Adam, L., ‘Kemitraan
Perbankan, Sebuah Alternatif’, Badan
Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional, Bisnis-Indonesia,
Februari 2007,. [dikutib 17 Mei 2007] Tersedia di internet
<URL:httpwww.bapekki.go.id>
Astiyah, S. & Husman, A.
J., ‘Fungsi Intermediasi dalam Efisiensi Perbankan di Indonesia: Derivasi
Fungsi Profit’, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan 2006, Working paper n.3: 13-4.
Djanarko, ‘Kinerja Perbankan
Belum Membaik’, Kompas Ekonomi, 12
Febuari 2002: 15
Gustari, I., ‘Meratapi Peran
Intermediasi Bank’, Infobanknews.com,
Info Bank, 27 Agustus 2003, [dikutib 17 Mei 2007] Tersedia di internet
<URL:http://www.infobanknews.com/analisis strategi perbankan dan keuangan.htm>
Hartati, Sri, E., ‘Perkembangan
Indikator Ekonomi dan Bisnis Indonesia Triwulan II 2005 dan Kecenderungan Pada
Triwulan III 2005’, Bisnis dan Ekonomi
Politik , vol. 6, no. 1: 94-5
Hidayat, K., ‘Suku Bunga
Kredit Naik, Intermediasi Bank Kembali Seret’, Sinar Harapan News, Keuangan 1, 2003, [dikutib 17 Mei 2007]
Tersedia di internet <URL:http://sinarharapan..com/keu1.htm>
Micco, A. & Panizza, U.,
2006, ‘Bank Ownership and Lending Behaviour,’ Repec, Working paper n. 67: 2-5
Nuryakin, C. & Warjiyo,
P., ‘Perilaku Penawaran Kredit Bank di Indonesia: Kasus Pasar Oligopoli periode
Januari 2001 – Juli 2005’, Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan 2006, Working paper n. 2: 2-5
Simorangkir, O. P. Drs., 2000, Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank, Ghalia
Indonesia, Bogor.
Sudjana, A.,’Mencermati
Kinerja Perbankan Kita’, Pikiran Rakyat,
[dikutib 26 Juni 2007] Tersedia di Internet <URL: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/23/mencermati_kinerja_perbankan_kita.htm>
Winarno, Sigit, S.E. &
Ismaya, Sujana, S.E., 2003, ‘Kamus Besar
Ekonomi’, CV Pustaka Grafika, Bandung.
Zetha, E. & Tabunan,
Tulus, DR., ‘Laporan Ekonomi Bulanan Oktober 2006’, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, [dikutib 26 Juni 2007]
Tersedia di internet <URL:http://www.kadin-indonesia.or.id>